Sulbar.com - "Sebentar ada bedah novel di Uwake", katanya singkat, saat saya menyapa dan menyalaminya orang tua itu ketika dirinya tampak berjalan seorang diri ke arah tinggas-tinggas. Lelaki paruh umur itu tak lain adalah Suradi Yasil, salah seorang budayawan juga penulis yang cukup dikenal banyak kalangan, baik dari akademisi maupun penggiat kebudayaaan di Sulawesi Barat. Rambutnya yang berombak, dengan warna putih, tampak lebih dominan menguasai kepala juga janggutnya, cukup memberi kita gambaran yang tidaklah rumit tentang usia beliau.
Tepatnya malam kamis, 21 Mei 2015, sekitar pukul 20.10 wita. Terlihat puluhan motor berjejer dan beberapa mobil yang terparkir di halaman sekretariat Uwake Foundation. Kira kira sekretariat itu letaknya kurang lebih 100 meter dari poros Tinambung-Majene.
Kendaraan dinas ketua DPRD Kabupaten Majene, juga tampak jelas dengan platnya yang khas. Malam itu Uwake Foundation, mengundang banyak pelaku seni dan karya sastra untuk duduk bersama membedah novel karya Suradi Yasil yang berjudul “Ibu Jilbab Hitam”. Bedah novel tersebut ternyata cukup menarik perhatian banyak kalangan, terbukti dari akumulasi peserta diskusi yang malam itu memenuhi ruangan yang kira kira seluas 84 meter bujur sangkar itu. Yang hadir ada yang berasal dari akademisi kesusastraan, penggiat budaya dan kesenian juga para pelaku politik praktis.
M. Syariat Tajuddin, ketua Dewan Kesenian Sulawesi Barat dan Dahri Dahlan, Dosen Sastra di Unmul Kalimantan yang malam itu diposisikan sebagai pembedah utama, sedangkan Abdul Muttalib, penulis juga dosen di Unasman berposisi sebagai moderator pemandu arus lalulintas diskusi dari cikal buku novel setebal 381 halaman kwarto itu.
Karya yang telah menempuh waktu penyelesaian sejak tahun 2009, hingga tahun 2012 tersebut tampak membuat penasaran banyak peserta diskusi, sebab yang di bagikan hanyalah sinopsisnya. Bedah novel ini berlangsung cukup seru, semua yang hadir merasa bersemangat untuk mengapresiasi kelahiran si ‘Ibu Jilbab Hitam”. Sehingga beragam tanggapanpun lahir dan tumpah di dalam lingkaran malam itu.
Tanggapan pertama dari M. Syariat Tajuddin selaku pembedah utama yang mencoba mengkritisi ihwal pemilihan judul novel “Ibu Jilbab Hitam” atau IJH tersebut. Menurut syariat sapaan akrabnya, judul novel ini dianggap tidaklah menggigit dan kurang mewakili keutuhan isi novel. Menurutnya, novel ini memuat banyak hal yang lebih banyak mengarah ke tema politik dan memberinya bumbu kisah asmara. Berbeda dengan Dahri Dahlan yang kritikannya lebih mengarah ke alur juga pemilihan beberapa frase kata. Ia mengatakan, penulis novel ini belumlah mampu melepaskan diri, dari aktor ia diciptakan dalam novel “Ibu Jilbab Hitam” tersebut.
Diskusi dengan duduk melingkar semakin asyik dan kian menarik, apalagi candaan dan humor dari peserta diskusi cukup ampuh membuat suasana kian cair. Kopi panas pun tersuguh, jalangkote juga pisang moleng menjadi salah satu bagian penting dalam diskusi yang kian memuncak malam itu.
Dihadiri Darmansyah Ketua DPRD Kabupaten Majene
Darmansyah, Ketua DPRD Kabupaten Majene, malam itu juga terlihat sangatlah antusias dan serius mengamati arus lalulintas diskusi, beliau mengatakan, “Saya akan mengapresiasi ini dari sudut pandang politik, itu karena saya memang adalah orang yang sampai hari ini berkarir di politik”, ungkapnya dengan gayanya dan senyum khas miliknya.
“Setelah saya mencoba memaknai simbolik dari “Jilbab Hitam” dalam novel ini, saya terlempar pada sebuah simbol kedukaan, yah ini merupakan bentuk ke-berduka-an politik, kita hari ini” terang Darmansyah yang juga dikenal akrab dengan banyak seniman dan pekerja kebudayaan.
Tidak mengherankan, jika Darmansyah yang juga adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sulawesi Barat (MSI Sulbar) hadir dan menyempatkan kembali hadir di Tinambung di tengah kesibukannya yang menumpuk. Tersebab dalam banyak aktivitas kesenian dan kebudayaan ia memang dikenal sebagai salah satu legislator yang memang amat karib dengan para seniman dan pekerja kebudayaan.
"Pilitik adalah satu soal, dan kebudayaan dan kerja-kerja kesenian adalah soal nurani. Keduanya mesti dibaurkan, sehingga dengan begitu kita menjadi sulit untuk berbuat tidak sebagaimana kehendak nilai budaya. Saya adalah pilitisi yang kini menjadi akan sangat malu untuk berbuat yang tidak seharusnya. Sebab saya banyak bergaul dan berpikir serta bersikap sebagai budayawan dan pecinta kesenian," tuturnya di sela diskusi kepada SulbarDOTcom.
Berbeda dengan, Darmansyah, Hamxah Ismail, dalam kalimat pembukanya saat mendapat bagian memegang mic justru lebih menyoroti IJH itu dalam pendekatan sastra, ia mengatakan sastra adalah benda mati dan artefak.
“Karya sastra hanyalah benda mati, yang tidak punya arti apa-apa, jika tidak dimaknai oleh pembacanya”, kalimat pembuka dari Hamzah Ismail (Kepala UPTD Kecamatan Tinambung, yang bergelut banyak di Pendidikan Anak Usia Dini Sulawesi Barat).
Ia mengatakan, “idealnya kita semua membaca novel ini kemudian mendiskusikannya. Karena kami hanya membaca sinopsisnya saja, sehingga kamipun hanya mampu untuk meraba-raba, apa sesungguhnya misi dan muatan yang terkandung dalam novel ini. Ada beberapa tempat yang dituliskan di novel ini seperti di Philipina Selatan, dan Mindanao yang semestinya diberi deskripsi singkat tentang suasana dan kondisi tempat tersebut, karena hal ini merupakan bagian dari keutuhan novel, namun saya pikir novel ini bisa menjadi bacaan wajib bagi politisi kita ke depan", tutup Hamzah seraya menyeruput kopinya.
Sangat banyak apresiasi dari yang hadir malam itu, dan akan menjadi catatan penting bagi Suradi selaku penulis novel IJH, sehingga tak heran jika ia mengatakan, “saya tidak membayakan seperti ini, sungguh sangat beragam dan antusiasnya apresiasi dari semua yang hadir, dan itu saya terima sebagai sesuatu yang positif", tuturnya dalam nada sangat bersemangat, walau banyak kritikan dengan argumen yang agak keras.
Bustam Basir Maras yang malam itu juga hadir, adalah salah seorang penulis yang banyak berkutat dengan cuaca kreatif Yogyakarta juga mencoba mengapresiasi novel ini, dan mengatakan, “memang benar pengarang harus berusaha semakin berjarak dan tidak terus mendampingi tokoh di dalam novel hingga akhir, ini memang agak hiperrealitas yang loncatannya cukup luar biasa, kenapa kok tiba tiba dalam novel ini lelakinya menjadi pejuang Islam Moro di Philipina?", Kata Bustam, yang malam itu sengaja singgah di Tinambung dalam perjalanannya pulang ke Malunda.
Darmansyah yang banyak mengafreasiasi karya itu sebagai karya sastra yang penting dibaca oleh para politisi, dalam acara itu juga tampak dihadiri mereka yang selama ini secara serius bekerja dan bergiat dalam dunia kesenian dan kebudayaan, mulai dari Bakri Latief, Rifai Husdar, Ishak Jenggot, Muhammad Munir, Nurdin Hamma, Amru Sadong, Muhammad Ridwan Alimuddin, Asri Abdullah, Udin Majuddin, Abed el Mubarak, Tammalele, Muhammad Aslam, Syuman Saeha, Adil Tambono, Ahmad Asdi, Wildan S Baso dan beberapa penggiat dunia pencerahan dari Kecamatan Balanipa dan Tinambung.
Menariknya, diskusi tidak berkurang temponya, semakin malam tampaknya semakin kencang dan kian alot. Moderator cukup bekerja keras untuk mengurai dan memetakan konteks dari apresiasi yang hadir malam itu. Setelah dianggap sudah terlalu larut, maka saatnya memberi kesimpulan dari alur diskusi tersebut. Setelah itu acara bedah novel secara resemi ditutup dengan mengucapkan hamdala bersama-sama. Semua perserta diskusi lalu saling bersalaman dan melanjutkan duduk santai di halaman Uwake Foundation milik Muhammad Rahmat Muhtar, sembari sesekali berkelakar dan tertawa bersama. Malam semakin lanjut, satu persatu kembali kerumah masing-masing.
|