Sulbar.com - Wangi puasa mulai tercium disini. Begitu dekat dan begitu akrab. Ia datang dikawal Rajab dan Syaban. Begitu pelan dan santun mengetuk pintu kita. Ditemani kesungguhan tadarrus, ketulusan sadaqah dan keiklasan zakat fitrah. Bahkan baju, kopiah dan sajadah yang baru serta semangat lapar-dahaga kukuhkan taqwa, teguhkan penghambaan kita.
Al quran dan kitab-kitab tua kembali diambil dari rak yang mungkin telah berdebu. Dibuka lalu dideras-khatamkan. Suara lirih tadarrusan di malam-malam yang ganjil dan genap kembali berkumandang pecahkan langit malam. Anak-anak kembali girang oleh mercon, leduman dan ragam perangkat mainan. Kebahagiaan khas kembali diakrabi.
Jembatan penghubung desa kembali ramai usai subuh. Dan mereka tampak bergerak pelan menuju pasar kampung pagi hari untuk membeli ludo dan ular tangga bahkan kartu domino untuk dimainkan sebagai alat pembunuh waktu. Agar rasa lapar dan dahaga tak terasa bergerak lamban menuju bedug magrib yang menjanjikan sejuta harapan pada kolak dan pisang ijo.
Dan knalpot sepeda motor kembali dipermak ragam rupa agar sunyinya kampung kembali bising. Pecahkan khusyuknya puasa dan ibadah di seribu bulan. Podium dan mimbar kembali dicuci bersihkan untuk ditandangi para penceramah membuka kitab-kitab yang menyuarakan berita tentang indahnya kebaikan dan payahnya keburukan.
Dialektika dan dinamika juga budaya massa dan tradisi puasa kembali tertafsir dalam ceruk waktu-waktu yang menggelikan. Ya di pedalaman dan di kota-kota menjadi potret yang ambigu. Padahal, idealnya puasa adalah universitas tahunan yang akan mengajari kita pada nilai-nilai sublimasi dan jedah kita pada ambisi yang kemaruk dan kerakusan kita pada yang profan. Di titik ini, puasa semestinya menjadi jedah dari segala ihwal yang membunuh nilai-nilai kemanusiaan kita.
Bukan ruang bagi festival kegoblokan kita pada penghambaan kita akan kehidupan yang membutakan. Juga bukan atalase kerakusan dan segala yang artifisial dan bernilai kehendak tabiat kehewanan kita disemaikan. Puasa bukan ruang untuk membudidayakan keinginan kita pada kekuasaan yang semu itu di pertajam. Puasa mengajari kita untuk menutup mulut kita yang berkecenderungan untuk mengumpat dan apalagi menipu.
Puasa adalah menuju kepada kemerdekaan dan kemenangan. Kemerdekaan yang sejati dan kemenangan yang luhur setelah kita mampu membunuh kerakusan dan kehendak kebinatangan kita. Bahkan puasa bukanlah ajang pamer kerakusan kita pada kekuasaan. Apalagi kehendak untuk mengalahkan kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa.
Catatan: sebelumnya catatan ini pernah dimuat di Harian Rakyat Sulsel