Sulbar.com - Tuhan adalah Dzat yang disembah oleh kita. Dia bisa memberi segalanya, sesuai dengan bagaimana hambanya berhubugan dengannya. Apakah melalui doa, amalan, ibadah dan lain sebagainya. Tuhanlah segalanya. Tak ada kekuatan yang bisa melampauinya. Dan tidak ada yang menyerupainya, kesempurnaan hanyalah miliknya.
Mari menyimak secara bersama. Tuhan sering dikaitkan dengan kekuasaan dan itu patut kita percayai. Jikalau dalam agama, Tuhanlah yang memiliki segalanya termasuk kekuasaan. Namun dalam bernegara, pada pemimpinlah keputusan pengelolaan kebijakan diserahkan dan bisa kita gantungkan.
Demikianlah, rasa-rasanya kita bisa bersepakat, bahwa pemimpin adalah wakil Tuhan di dunia. Dan pada pemimpinlah masyarakat berlindung dalam urusan negara atau daerah. Apakah pemimpin sebagai wakil Tuhan mampu menyaingi Tuhan yang maha bijaksana, maha kasih, maha cinta, dan maha mendengar. Jawabannya tentu saja tidak, kalau tak bisa disebut mustahil.
Kenyataannya. Masih begitu banyak aspirasi masyarakat yang tidak pernah didengarkan oleh para pemimpin. Ada banyak harapan yang belum kesampaian. Bahkan masih banyak para pemimpin yang enggan berinteraksi dengan masyarakatnya. Masih kurangnya cinta pemimpin kepada masyarakatnya. Sehingga seringkali mereka merasa jauh atau bahkan coba menjauh. Akibatnya tidak terjalin hubungan yang harmonis antara pemimpin dan yang dipimpinnya.
Celaka. Ketika Tuhan memiliki sifat yang bertolak belakang dengan hambanya. Tuhan yang sama kita tahu maha mendengar, namun namun kita hambanya di dunia hampir tuli dan enggan mendengar doa (baca: aspirasi) masyarakat. Pemimpin yang seperti inilah yang dimaksud penulis sebagai hamba atau wakil Tuhan di muka bumi yang nakal. Mereka yang padanya melekat kekuasaan sebagai pemimpin.
Hampir tiap tiba pergantian pemimpin, datanglah setiap wakil-wakil tuhan ini kepada kita, dengan menjajikan sesuatu dengan beragam rupa, agar kita tunduk dan dengan sukarela menjatuhkan pilihan kita kepadanya, termasuk perintahnya ketika mereka menjadi pemimpin. Namun kenyataannya, seringkali justru tidaklah ada sesuatu yang diberikan, kesejahteraan seringkali masih begitu jauh dari kata layak.
Jikalau setiap pemimpin atau wakil Tuhan yang sekarang menjadi nahkoda daerah ini tidaklah mencoba untuk mensifati sifat Tuhan, maka yakinlah kita sebagai masyarakat, sungguh masih dan tengah berada dalam jalan yang salah dan karenanya kita terseok. Dan akhirnya, kita hanya akan memiliki satu pilihan, menunggu wakil-wakil Tuhan yang secara total pula khaffah mau dan mampu membawa kita kepada upaya untuk menjadi warga juga hamba Tuhan yang tidak saja baik, tetapi juga sejahtera adil dan makmur. Walahul Alam Bissawab.