Mengawal gagasan, peristiwa dan informasi Sulawesi Barat [ Beranda ] [ Tentang : Sulbar ] [ Hubungi Kami ] [ Menulislah disini ! ] [ Pedoman Pemberitaan ] [ Maps ]

SulbarDOTcom
Kalindaqdaq (Pantun Mandar) :

"Takkalai di sobalang Dotai lele ruppu Dadi nalele Tuali di labuang."
Sekali bahtera layar terkembang Karam dan hancur tak kuhiraukan Asal tidak gempar terseriar Balik surut ke pangkalan semula

CERPEN
Purnama Terakhir Leha
SulbarDOTcom - Purnama Terakhir Leha


 Penulis
: AHMAD MAHOYA
 Senin, 29 Juni 2015 11:46:16  | Dibaca : 2071 kali
 
Sulbar.com - "Ini purnama terakhir aku menunggumu", batin Leha meradang. Matanya sendu menatap lingkaran cahaya putih yang menggantung di langit.

Telah puluhan kali Leha berdiam diri menatap bulir purnama, tak ada satupun purnama yang terlewatkan setelah peristiwa purnama malam itu meski kepedihan akan terus bergelayut di relung hatinya setiap kali purnama datang.
Namun purnama kali ini tak hanya melarutkannya dalam kesedihan tapi juga menguras habis tangisnya. Ajakan Kindoq berkali-kali dari dalam rumah tak membuatnya beranjak. Sementara malam terus melaju mengantar dingin menelisik hingga tulang dan untuk kesekian kalinya pula Leha menyeka air mata yang  terasa semakin terkuras habis, layaknya tetes embun diterpa sinar matahari yang menghisapnya kembali ke langit.

Sudah semalaman Leha termenung di dipan teras rumah. Sedari magrib menyendiri selepas Puang Bahar pulang. Rambutnya yang  panjang terus diurai angin malam hingga sering menutupi wajah. Tubuh semampainya rapuh rebah. Tatapannya kosong, sekosong harapan dalam hatinya. Sementara gejolak rasanya yang membadai terus mengurungnya dalam ruang kehampaan. Saat ini tak ada yang bisa Leha lakukan untuk mencegah bencana itu tidak terjadi kecuali keajaiban yang diharapkannya tiba-tiba datang.

"Waktumu hanya sampai pagi sebelum upacara itu digelar", desah Leha, lebih seperti putus asa. Leha sadar jika harapannya hanyalah sebuah hal yang mustahil terwujud.

Terbayang kala itu, saat purnama menghampiri gelapnya, purnama yang menjadi awal dari purnama-purnama kesedihan bagi Leha.

"Mungkin, memang harus seperti ini Kandiq", kalimat Sudi memecah keheningan dalam diam mereka yang lama.
Matanya masih setia menatap pecahan sinar bulan yang masuk lewat celah atap rumah.

"Pikirkanlah sekali lagi" Leha memiringkan badannya kearah sudi yang berbaring telentang.

"Aku telah memikirkannya berulang kali tapi tetap saja". Sudi tak melanjutkan kalimatnya, lebih memilih menghela nafas dalam-dalam kemudian menghempaskannya kearah gelap di sudut langit-langit kamar.

"Setiap orang punya pilihan bahkan ketika terdesak sekalipun" Leha menyangga, dalam remang matanya terus menatap Sudi.

"Tapi bagiku tidak kandiq, Aku tidak punya pilihan lain. Inilah satu-satunya jalan" lemah Sudi berucap, seperti tak yakin dengan keputusannya.

"Lalu bagaimana aku harus melaluinya?" kesedihan semakin merayapi hati Leha.
"Aku percaya padamu, kau lebih kuat dari aku" kali ini Sudi mencoba meyakinkan.

"Tapi tunggulah sampai anak kita lahir" harap Leha, sambil mengusap perutnya yang telah berumur lima bulan.
"Justru itu Kandiq.  Aku harus pergi sebelum anak kita lahir. Aku harus merubah hidup kita. Tinggal disini tak banyak yang bisa aku lakukan. Kandiq, harus percaya, Jadi buanglah segala keraguan". Sudi bangkit merapatkan pintu kamar yang terbuka separuh kemudian kembali rebah di samping Leha.

"Aku bukannya ragu kakaq. Aku hanya minta Kakaq tinggal sampai anak kita lahir. Aku ingin suaramulah yang pertama didengarnya saat kakaq mengomandangkan adzan di telinganya, kakaq juga yang kemudian menanam ari-arinya" suara Leha yang terdengar berat tak mampu mengurai beku malam.

"Maafkan aku Kandiq, sebenarnya itu juga impianku. Aku sangat ingin menggendongnya saat pertama kali dia menangis, menggendongnya juga saat dia di parai toyang", gilirang Sudi berpaling kearah Leha, menerobos remang memandang lekat Leha yang sedari tadi menatapnya. Dibawah bias sinar bulan yang masuk melintang ruang kamar pandangan mereka bertemu.

"Percayalah, Aku akan kembali untuk kalian" lanjut Sudi, kemudian kembali telentang sambil memejamkan matanya. Terasa kepiluan merambah jiwanya yang tak berdaya.

Mereka kembali terdiam, hanya terdengar sayup suara riak air sungai belakang rumah yang lembut melewati celah bebatuan namun terasa deras mengalir dalam hati mereka, menghanyutkan pikiran entah kemana sementara irama derit rumpun bambu yang diayung angin menyisakan rasa pilu yang mengoyak.

"Aku akan setia menunggumu pulang Kakaq", bisik Leha dengan bibir yang bergetar kemudian membalikkan badan membelakangi Sudi sambil membuat butiran butiran bening  di sudut matanya yang sayu. Diatas bulan makin pongah tapi suasana terasa bertambah gerah, sepanjang malam menabur keharuan.

Dan di hari yang ringkih, dipagi yang tak lagi berkabut ketika isak Leha mengantar kepergian Sudi. Ditatapnya Sudi yang berjalan menjauh menyusuri jalan setapak. Lalu perlahan mengabur dari pandangan kemudian hilang ditelan tikungan jalan, tangis Leha makin terdengar. Meski berangkat sendiri dan tak tahu tujuan pasti, Sudi bersikeras mencari nafkah di negeri orang demi melepaskan keluarga kecilnya dari belenggu kemiskinan dan berjanji akan mengirim uang saat anaknya diparai toyang tepat lima bulan lagi.

Sepeninggal Sudi, hidup Leha makin susah. Sudi memang tak meninggalkan apa-apa untuk membuatnya bertahan hidup, satu-satunya harapan hanyalah panette buatan Kamaq tapi itupun tak banyak membantu karna saqbe butuh waktu lama mengerjakannya dan hanya bisa dijual pada pedagang keliling yang datang setiap bulan dengan harga tak sebanding dengan kebutuhan hidup padahal daerah ini sangat bangga dengan sarung saqbenya, bahkan beberapa tahun lalu mendapatkan penghargaan untuk sarung saqbe terpanjang tapi hidup para perempuan panette tak pernah membaik.

Ditambah lagi kehidupan Leha makin tersudut oleh utang yang Kamaq pinjam dari seorang rentenir, bunganya semakin menggunung sedang Kamaq hanyalah seorang buruh bangunan yang sering tidak dipanggil karna sakit-sakitan sampai akhirnya sakit itu jua yang merenggut nyawanya dan utang Kamaq semakin mustahil untuk bisa dilunasi.

Tanpa terasa, purnama telah menghilang dengan membawa  segala impian bersamaan turunnya kabut tipis menjilati pepohonan mencipta tetes embun di ujung dedaunan. Sementara di ufuk, perlahan sang surya merayap naik. Kemarin, Leha masih menyisihkan waktu untuk berlama-lama menatap biasnya dari tempatnya duduk sesaat setelah shalat subuh sekedar menitip harapan untuk hari yang lebih baik dan yang ditunggu pulang membawa kebahagiaan layaknya seorang pejuang yang kembali dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan, sebelum akhirnya Leha kembali disibukkan dengan pekerjaan rutinnya. Memberi makan ayam sebelum dilepas dari kandang, setelah memasak, Leha akan bergegas beranjak mencuci pakaian di sungai bersama Santi dan Marwah teman masa kecilnya, meski masing-masing sudah memiliki suami dan anak, namun persahabatan mereka masih tetap terjaga.

Ketika pulang mereka akan memikul ember berisi air yang diambil dari salah satu galian lubang kecil di pinggir sungai sementara tangan kiri mereka akan menenteng keranjang cucian yang terbuat dari anyaman bambu. Leha akan langsung menyapu halaman dan saat itu, seperti biasa, Cicci akan terbangun kemudian menatapnya dari tangga rumah sebelum akhirnya memandikan dan memberinya makan. Pekerjaan yang Leha cintai, yang tak pernah lelah Leha lakukan. Leha kembali terisak.

Leha masih terus berdiam di dipan sampai Kindoq yang terbangun dari lelapnya kembali menegurnya untuk bersiap. Perlahan hangat cahaya pagi mulai terasa, kali ini tak ada kesibukan seperti biasa yang Leha lakukan.
Sandaran dipan bambu kembali berderit saat Leha rebahkan tubuh bersama hembusan napasnya yang menyatu dengan halimun "Maafkan aku", gumamnya melarung.

Sekilas wajah Sudi kembali melintas, wajah lelaki yang dicintainya. Lelaki yang dikenalnya saat pesta panen di kampung sebelah sebelas tahun lalu, lelaki yang meminangnya setelah lima bulan perkenalan mereka, lelaki yang telah memberinya satu anak dan kini membiarkannya dalam penantian yang sangat lama, penantian yang harus Leha akhiri hari ini. Kesetiaan yang diagung agungkannya  telah dirobohkan dan janjipun telah terjual tragis.

Leha masih tak menggubris suara Kindoq yang terus berteriak dari dalam rumah, kenangan terasa lebih kuat memeluknya dan Leha memang lebih memilih berlama-lama dari pada harus melihat kenyataan yang sebentar lagi terjadi, sebuah peristiwa yang akan menentukan arah hidupnya, selamanya.

Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Puang Bahar. Tak ada perayaan yang meriah, itu atas permintaan Leha, meski  puang Bahar awalnya memaksa.

"itu syaratnya, jika tidak, maka tak ada pernikahan", emosi Leha membuat Puang Bahar mengalah.

Memang pernikahannya adalah alat bayar pelunas utang Kamaq. Tapi dengan menikahi Puang Bahar walau terlalu renta untuk menjadi seorang suami, masa depan Cicci akan lebih baik dan dia sendiri akan naik derajatnya bersuamikan lelaki terpandang dan terkaya di kampung ini seperti yang selalu dikatakan Kindoq, meski Leha harus menanggung kenyataan lain, menjadi istri yang ke tiga.

Saat senja telah melumuri langit, semua prosesi upacara pernikahan telah selesai, hanya beberapa keluarga dan tetangga dekat yang diundang termasuk sahabat-sahabatnya yang tak henti-henti menghiburnya.

Leha berjalan kebelakang rumah, ditatapnya pohon-pohon perkasa yang menancap diatas bukit, aroma khas hutan jati yang disukainya tak lagi nyaman, dipejamkan matanya hampir bersamaan dengan tarikan nafas yang terasa sangat berat.

"Ini air mata yang terakhir untukmu, kita berpisah", lirih Leha mengusap matanya yang berair kemudian melangkah menuju suara Kindoq yang entah sudah berapa kali terus memanggilnya untuk segera masuk kereta yang akan membawanya ke rumah Puang Bahar.

Sementara jauh di seberang pulau, di balik tembok tinggi seorang lelaki kekar mengemas barang-barangnya, sudah hampir sepuluh tahun penjara merampas kemerdekaannya. Penikaman terhadap majikannya karena tak memberinya gaji selama lima bulan telah mengantarnya pada hukuman sepuluh tahun dan hari ini adalah hari kebebasaannya. "Aku pulang", bisiknya tersenyum.

Catatan :
Kamaq: Bapak
Kindoq: Ibu
Kakaq: Kakak
Kandiq: Adik
Parai Toyang: Tradisi Menaikkan Anak Diayunan
Saqbe: Sarung Mandar
Panette: Alat tenun

 
 
Tentang Penulis
Penulis Nama : AHMAD MAHOYA

Selain tercatat sebagai staf di salah satu perguruan di Polewali Mandar, dirinya juga secara serius bergiat sebagai pekerja kesenian di Kosaster Siin Unasman


ARTIKEL TERKAIT
 
KOMENTAR
 
Tulis Komentar
Nama :
Email :
URL :
Komentar :
   
   
   
     
    Catatan :
No Ads, No Spam, No Flood please !
Mohon tidak menulis iklan, spamming dan sejenisnya.
 MAIN MENU
> Home
> How to go to SULBAR
v Accomodation :
   - Hotel
   - Rumah Makan (Restaurant)
> Obyek Wisata (Destination)
> Kalender Wisata (Event Calendar)
> Directory
> Peluang Investasi (Investment)
> Perpustakaan Online (Library)
v Pemerintahan (Gov) :
   - Aparatur Pemerintah (Gov Officer)
   - UMKM / UKM


 

 

Email : info [at] sulbar.com | Email Redaksi : redaksi [at] sulbar.com

Situs ini merupakan situs berita online independen seputar wilayah Sulawesi Barat
This site is an independent online news sites around the area of West Sulawesi

copyright © 2004 - 2023 SulbarDOTcom - http://www.sulbar.com/

Online sejak 16-okt-2004

Saat ini orang Online.
Jumlah pengunjung : 2,462,067

web server monitoring service RSS