Sulbar.com - Mentaripun tak mampu untuk memberikan sinarnya karena adanya gumpalan-gumpalan kabut yang menutupi sebuah gunung yang menjulang tinggi disertai dengan derai hujan yang menetas dari langit.
Membuat suasana pada pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, disertai dengan arus sungai yang mampu memberikan hiasan pada pagi itu seolah-olah menghanyutkan jiwa yang tak berdaya. Burung-burungpun tak mampu berkicau. Seakan sedang bersemayan serta menyelimuti anak-anaknya di dalam sangkar.
Udara yang menusuk hingga ke sum-sum tulang serta mengguyur tubuh sehingga tubuh pun tak mampu untuk bergerak dan melaksanakan apa yang hendak di laksanakannya di tambah dengan tiupan angin sepoi-sepoi kian kemari menerobos selah-selah rumah tua yang berdindingkan papan yang tipis dan beratapkan rumbia serta barlantaikan tanah yang keras.
Dengan udara yang menghiasi pagi itu, di sebuah rumah. Tanpa sosok seorang ayah, Ibu yang memiliki dua anak itu Reis dan Arni tengah menikmati suasana dingin pagi dan hujan di kamar yang sempit yang dihiasi oleh beberapa ember dan wadah-wadah kecil yang di gunakan untuk menadah tetesan-tetesan air hujan yang menembus atap rumah tersebut.
Bagi banyak orang tempat itu mungkin tak layak untuk di tinggali karena situasi dan kondisinya, semenjak suaminya berpisah dengan wanita itu, yang menjadi tulang punggung bagi anak-anaknya berdua adalah ia seorang, mereka berpisah sewaktu anak-anaknya berada di bangku SMP.
Dengan suasana dingin tersebut, udara itu pun mampu menenangkan hati yang sedang risau akibat perdebatan yang hampir setiap hari trjadi dalam rumah tersebut. Tak lama kemudian keluarlah wanita itu dari kamar yang sederhana dan bergegas menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan dan tanpa menghiraukan udara pagi itu.
"Apakah ini merupakan sebuah cobaan penguatan hati untuk saya yah Tuhan," katanya sambil meneteskan air mata dan mengingat tingkah dan ulah anaknya yang menusuk hati yang paling dalam seakan-akan menjatuhkan hatinya yang telah terusik oleh perilaku anaknya.
"Ibu ada apa, kenapa menangis?" Kata Reis anak pertamanya sambil menuju ke dapur dan mengusap air mata ibunya.
"Tidak nak, Ibu hanya teringat akan ayahmu yang meninggalkan kita dalam situasi yang susah begini".
"Bu’!, bisa tidak ibu melupakan ayah yang pergi itu entah kemana. Sekarang itu dia sudah bahagia bersama istri dan anaknya jika ada, lagian kita juga bisa hidupkan tanpa dia?!".
"Maafkan ibu Reis, mungkin karena ibu masih mengingat situasi yang dulu lagi. Jadi ibu tidak rela semuanya berakhir dengan mendadak".
"ohhhh.....yah sudah tapi ibu harus janji, untuk tidak mengingat akan hal-hal yang telah berlalu, karena semuanya itu tidak akan kembali lagi" jawab Reis pada ibunya sambil menatap wajah ibunya yang diliputi oleh masalah besar.
Tetapi dalam keadaan yang melanda hatinya tersebut wanita itu masih mampu untuk menguatkan dirinya, karena yang dia inginkan adalah keberhasilan serta bagiaimana hingga kelak anaknya dapat menjadi seseorang yang baik di matanya.
Dari arah pintu dapur Arni tiba-tiba datang, "Ibu saya mau berangkat ke sekolah tapi masa sih tidak ada uang untuk jajan?"
"Arni..bukannya ibu tidak mau kasih, tapi kan kamu sudah sarapan, lagian kakakmu saja berangkat tidak membawa apa-apa, dan untuk besok apalagi yang akan kita pakai?"
"Aduh...! bu’! lagi-lagi ibu bandingkan aku dengan kak Reis itu, sekalian ajah kasih sayang ibu diberikan semua kepadanya"
"Arni! Jaga mulut kamu! Ibu tidak pernah mengajarkan kata-kata yang begitu kepadamu!"
"ibu dan anak kesayangannya sama saja!" Sambil bergegaas meninggalkan ibunya Arni mengambil tas sekolah yang berada di atas meja dan membanting pintu.
"Yah Tuhan tabahkanlah saya untuk menghadapi tingkah laku dari anakku, sadarkan dia dan mampukan dia agar mengerti keadaan kami” kata nya sabil mengusap dada yang hampir tiap harinya menerima kata-kata.
***
Seiring waktu yang telah berlalu, Reis yang terkadang mengerti akan situasi dan keadaan dalam rumah itu menatapi langit yang biru tanpa adanya awan-awan yang menghiasinya sambil melamun seraya bergumam, "hingga kapankah suasana yang begitu risau ini akan berahkir? Dan kapankah keadaan rumah ini akan segerah hening?, hampir tiap harinya dalam rumah ini dihiasi dengan berbagai-bagai masalah, dan yang menjadi sasaran dari pertengkaran ini adalah ibuku"
Tiba-tiba dari arah kanannya terdengar suara “ohhhh....rupanya disini anak kesayangan, sedang melamun dan menunggu pujaan hatinya yang lewat sekaligus jatuh dari langit, hehehhehe jangan mimpi kak akan ada pujaan hati yang lewat, lagian kalau lewat dia tidak akan merayu kakak! hahaha”
"Ni’ maksud kamu apa?"
"Ya ampun....kamu itu bodoh atau pura-pura pintar sih kak!"
"Kakak tidak mengerti apa yang kamu katakan, ini masalahnya apa? Kamu datang, tiba-tiba marah ke aku"
"Kak, bisa tidak jajan aku di sekolah itu tidak di halangi?!"
"Maksud kamu apa?!
"Tidak usa pura-pura bego’ deh kak!, aku tahu kak Res kan yang tanya ke ibu untuk tidak kasih aku jajan dua minggu ini!"
"Dek! Kamu kalau mau ngomong itu yang benar tidak usah pakai nuduh-nuduh sembarangan!"
"Aku tahu kak, kamu itu iri kan, sama aku karena tiap hari jajan! Sedangkan kakak hanya pakai nahan-nahan uang segala lagi!"
"gubrakkkkkk.....jaga mulut kamu Ni’!" sambil meninggalkan adiknya Reispun bergegas menuju kedalam rumah dan melempar sebuah kayu dan mengenai pot bunganya.
Di dalam rumah Reis mengamati ibunya yang tampak lelah membersihkan wadah-wadah penampungan air dan memerhatikannya kini terlihat beberapa hal dari diri ibunya yang telah berubah, "apakah ini akibat dari ulah kami anak-anaknya?, meski yang mengadakan konflik dalam masalah tersebut adalah kami berdua, namun ibu masih tabah melihat dan menghadapi kaami". Kata Reis dalam hatinya.
****
Di bangku kelas tiga, Reis dan kelas Arni SMA ini, mereka belum mampu berfikir dan masih seakan-akan kehidupan mereka masih ditanggung oleh seorang ayah, namun dalam keadaan yang menimpah mereka itu bukanlah merupakan suatu akhir dari segalanya. Karena dalam fikiran sang ibu kita bukanlah penentu kehidupan ini, mungkin bagi semua orang di usia mereka ini sudahlah cukup dewasa.
Namun di mata orang tuanya mereka lebih para dari seorang anak kecil, namun orang tua mereka tetap berusaha hingga mereka dapat menjadi seperti orang-orang yang diluar sana, hingga Dia rela bangun pagi dan mencukupi kebutuhan bagi anaknya.
****
Beberapa bulan kemudian di bangku sekolah Reis yang dijenjang terakhir menempuh pendidikan di SMA, akan diumumkan tentang hasil yang mereka lalui selama tiga tahun, hati yang dahulu merasa senang kini dipenuhi dengan tanda tanya yang besar dengan raut wajah yang sedih, bahagia, gelisah dan sebagainya, karena hari itu merupakan suatu hari yang menentukan keberhasilan seluruh kelas tiga, tiba saatnya hasil diumumkan dan Reis melihat beberapa dari teman-temannya yang tidak sanggup untuk melihat hasil dari mereka. Dan sebagian lagi meneteskan air mata dia tidak tahu apakah itu merupakan air mata bahagia atau sebaliknya.
"Yah Tuhan bagaimana ketika nama beserta nomorku tidak di munculkan?,... Apakah yang hendak aku katakan kepada ibuku?,... mampukah aku melihat ibuku ketika ia mendengar tidak ada namaku yang terpampang?.... Selama tiga tahun aku menempu pendidikan semuanya hanya tinggal tangis" katanya dalam hati sambil melihat beberapa temannya dan menuju ke sebataang pohon yang rimbun disitu pun ia mulai membungkukkan diri dan duduk diatas rerumputan.
"Tiga tahun kemarau dihapus hujan satu hari," itulah salah satu perkataan dari seorang guru terbaiknya yang tak pernah lepas dari benak Reis perlahan-lahan tetesan-tetesan itu pun mengalir di pipi yang manis itu dan menyapuh hiasan-hiasan yang menempel pada pipinya di tambah ketika nama seluruh kelas tiga lulus seratus persen, air mata yang awalnya menetes kini mengalir bagaikan air sungai yang deras di pipi seluruh siswa dengan di sertai pelukan hangat dari semua temann-teman, mereka pun meloncat setinggih-tingginya seakan-akan ingin meraih sesuatu yang ada di atas angkasa serta berjalan-jalan di atas gumpalan-gumpalan awan setelah mancapai apa yang telah di raih.
****
Dari apa yang Reis dapatkan beberapa bulan ini, di dalam kamarnya dia melamun dan hanya melihat ke semua selah rumah, “mampukah aku untuk melanjutkan sekolahku dengan keadaan perekonomian dalam keluarga yang sangat minim?... mampukah aku dapat separti dengan teman-temanku?....apakah studiku hanya sampai di sini?" katanya sambil menulis diatas selembar kertas.
Ibunya yang sedang memerhatikan perilaku anaknya mengetok pintu kamarnya dan menuju kearah anaknya seraya mengusap rambut anaknya menunjukkan kasih sayang terhadapnya dan berkata "tenang sayang kamu harus melanjutkan sekolahmu".
"Tapi Ibu, kita tidak memiliki biaya dan kita pun bukanlah orang yang mampu dan aku tidak ingin melihat ibu membanting tulang hanya karena membiayai sekolahku"
"Nak, keberhasilan itu tidak di ukur dari kaya tidaknya orang tua disinilah kamu harus buktikan kepada semua orang bahwa kamu pun mampu, serta mamperlihatkan suatu waktu kepada ayahmu bahwa tanpa dia kamu pun mampu menyelesaikan hingga akhirnya"
"Hik..hik..hik...makasih ibu atas semuanya, aku janji aku harus lanjutkan sekolahku hingga akhirnya," kata Reis sambil memeluk ibunya dan meneteskan air mata bahagiah.
****
Tiba saatnya Reis memutuskan dimana ia akan lanjut, namun di sisi lain Reis pun masih mengingat akan tindakan dan perilaku adiknya Arni yang tanpa harinya meminta uang hanya untuk kepribadiannya. Namun ia berfikir akan perkataan ibunya ia pun mengambil keputusan untuk tetap melanjutkan kuliahnya di suatu perguruan tinggi. Namun karena dia hidup di daerah orang yang tidak dia kenal dan tak sanggup melihat keadaan dan tindakan adiknya, ia pun putusan untuk bekerja di sebuah tokoh sebagai salah satu pekerjaan sampingan serta suatu pekerjaan lainnya untuk membiayai diri beserta sekolahnya tanpa brfikir sebarapa pun penghasilan yang dia dapatkan.
Waktupun terus berjalan biaya ekonomi pun bagi Reis serta orang tuanya terus bertambah, kini yang menjadi tulang punggung untuk menghidupi orang tuanya beserta adiknya adalah Reis, di samping itu dia harus membiayai kuliahnya.
****
Kring....kring...kring....suara sepeda tukang pos. Ibu Reis bergegas menuju keluar dan mengambil sebuah amplop dan membuka lembaran kertas
"Untuk ibuku dan adikku sayang....salam rindu dari anakmu Reis, Ibu jangan kwatir kepada aku, karena aku disini baik-baik saja, semoga ibu juga baik-baik disana. Ibu, bagaimana dengan keadaan Ibu? maaf karena saya tidak pernah memberi ibu kabar lagi karena beberapa bulan lalu tidak ada yang menuju ke daerah kita dan di dalam amplop ini ada beberapa lembaran uang. Itu aku berikan kepada ibu untuk biaya sehari-hari. Maaf yah bu’ jika tidak sesuai dengan keinginan, tapi aku tahu ibu pasti bangga. Salam dari Reis”.
Perlahan-lahan kertas itu pun basah karena tetesan air mata yang bahagia dari seorang ibu untuk anaknya
"Ia nak...ibu baik-baik disini ibu bangga punya anak seperti kamu semoga apa yang kamu lakukan kamu akan memetik semuanya... hikkk... hikk" sambil memeluk lembaran kertas yang di pengangnya dan mengucapkan doa agar anaknya berhasil.
Dari arah belakang Arni melontarkan kata dan penasaran akan tindakan ibunya "ada apa Ibu, kenapa ibu menengis dan memeluk selembar kertas?”
"Kamu sudak pulang nak?" kata ibunya sambil mengusap air mata
"Ia....ada apasih bu’! kenapa ibu nagis tiba-tiba?"
"kakakmu mengirim surat dari sana dan menanyakan kabar kita" sambil memperlihatkan lembaran kertas itu pada Arni.
Dengan mengipas-ngipaskan rambutnya Arni berkata pada ibunya, "wah....kok kakak baru ingat yah dengan kita, apa dia tidak berkeinginan untuk melihat ibu? Masak sih dia hanya ngirim segitu untuk kita? Mana cukup?!"
"Arni kamu itu bicara apa?! kakakmu di sana itu tidak senang, dia membiayai hidup dan sekolahnya sendiri di kampung yang tidak ada satu pun yang dia kenal!".
"Baguslah kan kiata tidak repot-repot lagi untuk menyekolahkannya, lagian siapa yang tahu dia di sana itu kerjanya bagus apa tidak" sambil meninggalkan ibunya.
"Arni....! jaga mulut kamu dia itu kakakmu, bukannya mendoakan agar sukses malah mendoakan yang tidak-tidak, seperti kamu tidak tahu tatakrama saja"
Masih sempat merespon pembicaraan dari ibunya Arni berkata dari kamarnya "Iya deh, terus saja bela dia, oh kakak ngirim uang kan?Pastinya ada untuk aku, besok berangkat sekolah kasih ke aku yah bu’?"
Ibunya hanya geleng-geleng kepala dan menghapus air mata yang mengaliri pipinya yang menunjukkan kulit yang tidak seperti dulu lagi serta berharap akan segerah anaknya berubah.
****
Studi yang di lalui Reis pun hampir selesai. Kini waktunya ia ingin memperlihatkan apa yang ia hasilkan kepada ibunya serta semua orang, selama ia menempuh perkuliahan ia tidak pernah menginjakkan kaki ke kampung halamannya. Karena ia berfikir bahwa uang yang digunakan untuk kembali bertemu orang tuanya tersayang dapat ia berikan kepada ibunya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dan semenjak ia memasuki bangku perkuliahan barulah dia mengerti tentang bagaimana sebenarnya kehidupan itu dan betapa susahnya untuk mencari sesuap nasi seharinya, tapi semangat yang Ia miliki pun takkan habis ditelan waktu. Karena niat dan cita-cita yang dekat dengannya dan akan ia raih dan genggam. Tetapi di sisi lain terkadang dia berfikir tentang pekerjaan sampingan yang kedua yang di jalaninya, yang tidak pantas untuk di lakukan.
Namun ia harus menyembunyikannya dari ibu serta adiknya yang sedang melanjutkan studinya di perguruan tinggi.
Kring..krring...kring....suara telepon berdering dari sudut kamar kos yang di tinggali Arni seorang diri
"Halo....ia kak ada apa?"
"Bagaimana keadaan kamu Ni’?
"Aku baik-baik saja, tapi sudah berapa hari ini aku kayak lemas begitu"
"kenapa? Kamu sakit yah..?"
"iya...."
"sudah minum obat belum?"
"heh! mau minum obat uang aku ajah sudah habis, mana mau pakai beli obat"
"bukannya kakak sudah kasih ke kamu?"
"kal...! kaka itu perhitungan sekali tahu!, semuanya sudah habis dong, kayak kakak ndak pernah sekolah saja"
"trus....sekarang?!"
"yah...mau minta lagi sama ibu"
"kamu fikir ibu itu bank apa!, sekarang orang tua kita tidak mampu untuk membiayai hidupnya, bagaimaana mungkin dia dapat membiayai kamu?"
"aku sekolah bukan karena keinginan aku, tetapi itu karena keinginan dari ibu, itu tandanya bahwa dia dapat menyekolahkan aku, kalau dia tidak mampu untuk menyekolahkan aku, kakak saja yang biayai sekolahku serta kahidupanku, karena aku tidak mampu untuk bekerja hanya kerena biaya hidup dan sekolahku!"
"kamu itu tidak tahu untung!, udah di sekolahin mala ngomel, sekarang kamu juga harus berfikir dong bagaimana kamu bisa menyelesaikan sekolahmu!"
"Yang intinya besok uang itu harus ada! Kalau tidak…okey aku aku akan mencri uang sendiri namun apapun yang menghasilkan uang akan aku lakukan, karena aku juga tidak butuh saran dari kakak dan ibu!!” Plak....tit...tit..tit....
"halo…halo…Arni…halo…suara telepon terputus, namun beberapa kali Reis menghubungi adiknya namun itu hanya sia-sia belaka.
Namun Reis akan tetap tabah dan tak ada sepatah kata pun yang dapat ia ungkapkan dari bibir yang tidak berguna itu, sambil membaringkan diri diatas kasur kapuk yang telah tua dimakan usi dan kini begitu mengempis, seraya memelintir beberapa ujung kain kasur kapuk yang telah mulai melar itu.
"aku telah salah menjadi seorang kakak, aku tidak dapat seperti orang lain yang mampu mendidik dan mengubah kehidupan adikknya," katanya dalam hati dan melihat selembar foto yang masih di lengkapi seorang ayah.
Kreekkkkk.....ia merobek salah seorang dari gambar itu ia yang dahulu bersamanya kini hidup dengan wanita lain "kemanakah ayah yang dahulu sayang kepada kami? Tidakkah ia mengingat akan kami? Tidak adakah hati kecilnya yang bergerak dan ingin kembali?" sambil menunjuk foto seorang lelaki yang telah di robeknya dan membuangnya ke suatu tempat yang berisi kertas-kertas yang tak tergunakan dan siap untuk di buang.
Dan melihat gambar sosok wanita yang kini jauh darinya sekarang yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang selama ini menjaganya hingga dia mampu menyelesaikan semuanya, meski telah melanggar suatu kepercayaan yang di berikan ibunya.
***
Harinya pun tibah Reis kembali ke kampung halamannya dan menaruh toga di atas kepala serta surat yang di dalam tasnya dan bertuliskan semua yang telah ia capai, namun ia melihat dari kejahuan sosok wanita tua yang keluar dari dalam rumah yang menjadi tempat peristrahatanknya selama ini. Dipandanginya ibunya yang dahulu berbadan tegak kini menjadi membungkuk dan menggunakaan tongkat, kulit serta wajah yang dahulu kencang kini menjadi keriput dan kusam.
Rambut yang dahulu hitam kini berubah menjadi putih dan rambut yang dahulu pun tak terlihat lagi "apakah ini semua karena diriku yah Tuhan," katanya dalam hati, sambil bergegas menemui dan memeluk ibunya seakan-akan tangannya tak mampu untuk melepaskan pelukan yang telah lama tak melingkar pada tubuh tua itu.
Ia merindukan pelukan hangat itu dan ia tak mau kehilangannya lagi, air mata bahagia mengalir pada kedua pipi dan rasa terimah kasih yang di ucapkan Reis kepada ibunya itu tak mampu untuk membayar apa yang selama ini dia berikan kepadanya.
Namun ia ingat akan pekerjaan sampingan yang ia lakukan selama ia sekolah,,dan oh yah Tuhan bagaimana nasib ibuku jika ia tahu?, Kepercayaan yang ia berikan telah aku salah gunakan… Isak tangispun terjadi di hari itu sambil berkata pada ibunya, "Ibu terima kasih atas kasih sayang yang takkan terhingga dan meskipun aku membayar dengan segenggam emas atau perak serta permata itu tidak akan sepadan dengan apa yang Ibu berikan". Seakan-akan Reis ingin melihat wajah yang dihadapannya yang dahulu tapi semuanya habis digerus waktu.
"Ia nak apa yang kamu inginkan selama ini telah tercapai, kamu telah mendapatkannya".
Sambil berjalan dan menuju sebuah istana bagi mereka dan di pandangi istana yang menjadi tempat peristirahatannya dahulu atap serta dinding yang telah di makan rayap ibunya mampu bertahan dan meninggalinya seorang diri. Kini ia tidak meninggalkannya sendiri lagi dan akan membuat ibunya berseri-seri setiap detik, menit, jam.
****
Namun kebahagiaan yang dirasakan oleh wanita itu ternyata tidaklah bertahan lama. Karena bencana mendadak besar datang menggusarkan hati dan hari-harinya. Ya, kepahitan kehidupan setelah mengetahui bahwa anaknya yang dibanggakan dan telah pulang dengan toha kersarjanaan itu ternyata adalah pecandu narkoba akut. Apa yang diharapkan selama ini semuanya menjadi sia-sia dan hampa.
Sedangkan anak sulungnya, yang masih sekolahpun kini dengan gontai dan dengan tatapan hampa tampak tengah memasuki sebuah gedung yang di dalamnya terdapat banyak orang yang sedang tertawa. Dan para medispun tampak sibuk lalu lalang.
Dipintu masuk gedung itu terdapat tulisan besar di atas gapuranya, Rumah Sakit Jiwa. Entahlah, mungkin karena stres akibat kebutuhaan dan keinginan yang tak kunjung terpenuhi.
"Tuhan ini bukan cobaan lagi bagiku, aku tidak mampu menjalani hidup ini kedua anakku tidak mengindahkan akan apa yang telah ku katakan padanya, apakah yang dapat kulakukan? Aku hanya wanita tua yang tak sempurna, di hari-hariku tidak ada yang menemaniku Tuhan, ambillah nyawaku karena aku tidak sanggup menjalani kahidupanku tanpa anakku yang dahulu".
Wanita tua itu pun meninggalkan kedua anaknya dan membawa sakit hatinya serta tangis yang menjadi hiasan kehidupannya. Dia yang dahulu mengharapkan akan kedua anaknya sukses di masa depan kini membawa sejuta luka dan melukiskan goresan yang tak terhilangkan dari banak sang Ibu. Anak yang dititipkan Tuhan untuknya itu bukanlah seorang yang mampu membahagiakannya hingga akhir hidupnya.
Kini apa yang dia harapkan hanyalah menjadi mimpi. Baginya hingga akhirnya ia harus menyerahkan sisa hidupnya kepada Tuhan dan pasrah apapun yang akan di laluinya meski tidak bersama sang buah hati sekalipun.