Sulbar.com - Siang itu panas di tanah dingin itu mulai menimpa tanah. Di jidat dan sekujur tubuh perempuan paruh baya itu telah mulai meneteskan keringat. Tangan kasar dengan otot di lengannya telah mulai terbentuk. Adalah Mariana L perempuan pemecah batu yang coba menyiasati beban hidup kerasnya nyaris serupa batuh harus dipecahkan. Karena hidup baginya adalah pengabdian nyata bagi kebaikan keluarga dan harkat serta martabat kemanusiaan. Seperti hidup yang harus tetap dilanjutkan dan bergerak.
"Ya, mau bagaimana lagi. Kerasnya batu adalah cermin kerasnya kehidupan yang harus kami jalani untuk kehidupan dan sekolah anak-anak kami," tutur Mariana, ibu rumah tangga yang siang itu ditemui SulbarDOTcom, beberapa waktu yang lalu di jalan lintas poros penghubung Malabo-Mamasa.
Bagi Mariana dan beberapa teman-teman seusianya, adalah pilihan terakhir, setelah lapangan kerja yang lainnya tidak lagi memberikan harapan bagi keluarganya. "Pekerjaan ini kami geluti sebagai satu-satunya solusi untuk menutupi segala kebutuhan rumah tangga kami," katanya dalam dialek dan bahasa Mamasa kental seraya menyeka keringat yang tampak menetes di jidatnya.
Di kepala dan hati Mariana kini hanya ada satu, bagaimana ia mampu menyekolahkan anak-anaknya dan mensuplai sumber penghidupan bagi keluarga kecilnya.
Pekerjaan tersebut, menurut Mariana, telah digeluti selama kurang lebih tiga belas tahun. Sehingga telah terbiasa baginya memegang beban yang berat. Mulai dari linggis, martil yang tanpa menggunakan sarung tanganpun adalah sesuatu yang biasa.
"Selama lima hari kami bekerja disini, dan bersyukur kami mampu mengumpulkan satu res atau setara sekitar 150 ribu. Hasil ini sangat membantu kami dan suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. Tentu saja termasuk biaya sekolah anak-anak kami," sebutnya dalam nada yang memberat seraya menatap kosong kendaraan yang lalu lalang di badan jalan tempat dirinya memecahkan batu.
Lanjut Mariana, pekerjaan sebagai pemecah batu itu, telah menjadi pekerjaan utamanya setiap hari. Sama seperti para ibu rumah tangga lainnya yang juga mengeluti pekerjaan sebagai pemecah batu gunung untuk mereka jual. Sama seperti Mariana, kawan-kawannya yang juga menggeluti aktivitas yang sama juga mengeluhkan terbatasnya alat yang mereka gunakan. Sehingga untuk mengumpulkan pecahan batu dalam jumlah yang banyak membutukan waktu yang cukup lama pula. Terutama juka bongkahan batu yang akan mereka pecahkan itu cukup besar.
Tak heran, jika Mariana dan kawan-kawannya amat sangat berharap kepada Pemerintah Kabupatan Mamasa, kiranya dapat turun tangan meringankan beban pekerjaan mereka. Dengan memberikan alat kerja berupa mesin pemecah batu. Agar produksi batu yang dikerjakan dapat meningkat dan memberikan hasil yang lebih banyak dan lebih baik.
Sehingga Mariana dan kawan-kawannya, kelak tidak akan lagi menjadi pemandangan yang memprihatinkan semua pihak, saat melewati jalur poros menuju Kota Mamasa. Kota yang terlanjur didapuk sebagai kota atau kabupaten bagi pengembangan destinasi wisata Sulawesi Barat.
Kelak, perempuan-perempuan pemecah batu, itu pelan akan menua dan akan tetap bekerja di tepi jalan memecah batu dengan keringat yang mengucur. Seakan menyenggol kepedulian banyak pihak yang lalu lalang dengan kendaraan-kendaraannya. Perempuan-perempuan yang begitu setia menyiasati kerasnya hidup, demi keluarga dan sekolah bagi anak-anak mereka.
|