Sulbar.com - Demokrasi bisa kuat, apabila kelas menengah atau masyarakat sipil dibangun secara beradab. (KH. Abdurrahman Wahid/ Gus Dur)
Sebagai salah satu pilar penting demokrasi, masyarakat sipil (civil society) adalah kelompok atau entitas penyeimbang negara (pemerintah). Dengan posisinya sebagai kekuatan penyeimbang negara, masyarakat sipil berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat apabila terjadi praktek-praktek yang kurang beradab, tidak demokratis, besar maupun kecil, yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.
Kelompok masyarakat sipil atau civil cociety adalah yang diwakili oleh mereka yang berkecimpung di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Mahasiswa, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), dan kelompok-kelompok lainnya yang berada diluar pemerintah. Entitas ini secara ideal memperjuangkan kepentingan rakyat dengan jalan mengontrol kebijakan pemerintah atau merubah kebijakan pemerintah yang sifatnya tidak pro terhadap kepentingan rakyat.
Meski tergolong sebagai Provinsi muda di Indonesia, di Sulawesi Barat sendiri, keberadaan kelompok masyarakat sipil ini kian berkecambah bak jamur di musim hujan. Setidaknya itu ditandai dengan semakin banyaknya LSM, lembaga pers (media cetak dan media online), serta keberadaan organisasi-organisasi gerakan mahasiswa, baik yang memiliki garis kordinasi hingga ke tingkat pusat (PMII, HMI, GMKI, GMNI, PMKRI) maupun organisasi daerah (organda) seperti Kesatuan Pelajar Pemuda Mahasiswa Polewali Mandar (KPM-PM), Ikatan Mahasiswa Mandar Majene, IPM, dan seterusnya.
Keberadaan kelompok ini sejak kemunculannya, baik pada saat Sulawesi Barat masih menjadi bagian dari Sulawesi Selatan maupun pada saat Sulawesi Barat menjadi daerah otonomi tersendiri, sedikit banyak mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Jika sejenak kita menengok kembali ke file memori tahun 2008, kekuatan masyarakat sipil, terutama gerakan mahasiswa sangat memiliki pengaruh yang signifikan guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kita masih bisa merefresh ingatan tentang kasus pasien di rumah sakit Dara Polewali, bernama Kambacong, yang tidak mendapat pelayanan yang sebagaimana mestinya oleh pihak rumah sakit. Waktu itu, hampir semua elemen mahasiswa, baik itu yang sifatnya intra kampus maupun ekstra kampus berbondong-bondong turun kejalan melakukan interupsi terhadap kebijakan pihak rumah sakit yang mengebiri hak-hak kemanusiaan Kambacong.
Interupsi mahasiswa itu mendapat dukungan pemberitaan media lokal dan nasional serta kerja-kerja advokasi sejumlah LSM yang juga getol memperjuangkan hak Kambacong yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang sama dengan pasien lainnya di rumah sakit pada waktu itu. Sangat terlihat kompak.
Sayangnya, memori pergerakan masyarakat sipil di tahun 2008 itu, dalam tiga tahun terakhir ini nyaris tak didapati lagi. Dinamikanya semakin menurun. Pergerakan Civil Society nyaris kehilangan bentuk. Jaringan-jaringan di tingkatan akar rumput hampir tak didapati lagi. Kalaupun ada, mungkin hanya sebagian kecil saja. Ditambah, aktifis aktifis masyarakat sipil masuk ke dalam kelas-kelas elit atau negara, tanpa dibarengi dengan proses regenerasi di internal. Tidak hanya terjadi di Sulawesi Barat, tetapi hampir terjadi di seluruh wilayah di republik ini.
Dengan pergerakan dan dinamika masyarakat sipil yang semakin menurun, fenomena itu beriringan dengan masuknya sejumlah kelompok yang basis gerakannya tidak sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat didalam konsep empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Mereka anti Pancasila dan menginginkan penyeragaman dengan menggunakan agama sebagai topeng. Mereka dengan mudah menyasar ke level bawah, masuk ke kampus-kampus, sekolah, mesjid, dan ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan mendistribusi kader-kadernya masuk ke dalam pemerintahan.
Meski sosialisasi tentang empat pilar kebangsaan yang diinisiasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan bekerjasama dengan pihak pemerintah di daerah gencar mensosialisasikan empat pilar kebangsaan, dengan gelontoran dana yang cukup besar, namun sosialisasi yang dilakukan oleh setiap masa reses para wakil rakyat itu terjebak pada level normatif belaka. Konsep empat pilar tersebut tidak menyentuh wilayah masyarakat paling bawah. Karena sosialisasi itu tidak berbarengan dengan regulasi yang dibuat oleh pemerintah di daerah maupun regulasi di tingkat pemerintah paling bawah yaitu pemerintahan desa.
Dari kenyataan itulah, melalui tulisan singkat ini, penulis menaruh harapan terhadap masyarakat sipil di Sulawesi Barat agar melakukan tindakan konkret, misalnya kembali melakukan pembacaan di tingkat bawah (akar rumput) ke petani, buruh, nelayan, imam-imam mesjid, siswa-siswa, kelompok perempuan, disabilitas yaitu dengan memperkuat identitas politik dan kebangsaan mereka.
Gerakan masyarakat sipil itu tidak semata-mata lagi menabrak kekuasaan seperti yang terjadi di tahun 80-an, tetapi ada gagasan yang ditawarkan yaitu ikut andil merumuskan rancangan peraturan daerah yang berwawasan kebangsaan, misalnya, bersama-sama merumuskan Rancangan Peraturan Daerah dan rancangan Peraturan Desa tentang deradikalisasi agama, penguatan kearifan lokal, dan Ranperda yang melindungi hak-hak ulayat rakyat seperti tanah adat dan lain sebagainya, kemudian ditawarkan ke pemerintah untuk dijadikan Peraturan. Peraturan Daerah di tingkat daerah. Peraturan Desa jika itu di tingkat desa.
Penulis menyadari bahwa tulisan yang sangat singkat dan sederhana ini, belum mewakili secara keseluruhan apa yang ingin penulis sampaikan dalam forum ini. Tetapi dengan adanya tulisan ini, akan memperkaya diskusi kita dalam merumuskan cara pandang dan solusi yang sama akan pentingnya menjaga dan membumikan empat pilar kebangsaan melalui gerakan masyarakat sipil, dengan jalan mereposisi gerakan masyarakat sipil di Sulawesi Barat.
Wallahu a’lam bis shawab. Jazakumullah Wallahul Muwaffieq Ila Aqwamith Tharieq
Tulisan ini disampaikan Pada Kegiatan Pelatihan Peningkatan Wawasan Kebangsaan dan Kewarganegaraan dengan Tema “Membumikan Empat Pilar Kebangsaan Melalui Gerakan Masyarakat Sipil”, Hotel Lilianto Polewali, 18-19 September 2015
|