"Batu toyang dilolangan Peatallangngoq-o naung Apaq nanaolai Lopinna tomasara nyawa." Wahai batu dan karang di tengah samudera Tenggelam dan karamlah engkau Karena akan dilintasi Perahunya kelana yang merana
Jumat, 27 November 2015 20:39:23 | Dibaca : 1214 kali
Sulbar.com - Terbangun di suatu malam yang suntuk dalam diam menusuk. Tersuruk ke sudut menunggui kantuk yang rewel ditemani televisi yang kian bawel.
Televisi yang masih sibuk menggelar lomba bicara. Banyak menyajikan polemik, lahirkan perdebatan yang tiada henti. Saling tuding. Saling hujat dan lucunya mulai terasa lumrah, ketika dikemas menjadi informasi yang seolah penting untuk dinikmati.
Betapa telatennya televisi dalam mangasuh, menyuapi sekaligus mengarahkan kesadaran kita. Mengajari cara protes, menyanggah, bahkan mendebati dengan ujaran yang lebih banyak membuat kita geleng-geleng kepala.
Semuanya diarahkan untuk bicara. Semuanya dituntut berkomentar tapi malah alpa menanamkan pembiasaan untuk sekali waktu mengambil jarak untuk diam. Minimal tidak membuat riuh. Minimal tidak membuat bising. Minimal tidak memperkeruh keadaan.
Mungkin diam tidak lagi dianggap produktif. Sepi tidak lagi bermakna. Semua butuh terang. Tidak ada lagi yang butuh gelap. Tidak ada lagi yang patut jadi rahasia. Tidak ada lagi yang butuh misteri. Semuanya harus dibongkar. Semuanya harus dibagi.
Seolah tidak ada perasaan yang patut dijaga. Jangan heran bila tangis kesedihan dan tawa kebahagiaan sama pentingnya diberi porsi lebih untuk diabadikan secara ekslusif.
Dikemas secara apik untuk dijadikan panduan untuk memperelok sajian skandal yang kembali disulap menjadi informasi yang lagi-lagi terasa penting untuk dikunyah.
Televisi mulai sukses melahirkan para komentator handal, tapi meniadakan sosok pendengar yang mensifati ibu. Ibu yang lebih banyak diam sewaktu mendengarkan curahan hati anaknya. Ibu yang girang membuka ruang perenungan seraya menumbuhkan kemandirian berfikir dan bersikap.
Kalaupun bicara, bahasanya pendek tapi malah terasa santun menginterupsi kesadaran terdalam. "Jika menurutmu itu baik dan benar, ya lakukanlah nak. Ibu hanya bisa mendoakanmu." Ibu sangat paham rumus diam di posisi tertentu itu baik, dan bicara di momentum yang salah sudah pasti tidak benar.
Jangan-jangan diam adalah strategi menunggu momentum. Mungkin diam adalah skenario bertahan. Tapi bisa jadi diam adalah bentuk penjernihan keadaan serupa kondisi Sitti Maryam AS ketika diminta puasa bicara oleh Tuhan.
Tentang Penulis
Nama :
ABDUL MUTTALIB
Selain aktif sebagai awak redaksi SulbarDOTcom, dirinya juga bergiat di Teater Flamboyant
Situs ini merupakan situs berita online independen seputar wilayah Sulawesi Barat This site is an independent online news sites around the area of West Sulawesi