Sulbar.com - Bisa jadi, masalah yang mendera bangsa Indonesia menjadi tanda bahwa negara tengah mengalami darurat kepemimpinan. Celakanya paradigma yang dianut pemimpin kita dewasa ini selalu menuntut dilayani bukan melayani.
Begitu yang dilontarkan Khalid Rasyid ketika membawakan materi pada kegiatan Pelatihan Kepemimpinan Remaja Masjid Babussalam Salambunong, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar bekerjasama Biro Kesejahteraan Daerah Setda Propinsi Sulawesi Barat (Sulbar), di Aula Pertemuan Tasha Center, 2 - 3 Januari 2016.
Menurut Khalid, diperlukan usaha bersama dalam membentuk kesadaran bahwa calon pemimpin dan rakyat yang kelak dipimpin sejak awal melakukan ijab qabul. "Prosesi ijab qabul dapat dimaknai sebagai ruang untuk melihat apakah calon pemimpin itu memiliki lima kriteria ideal yakni kejujuran, istiqomah, amanah, adil dan nilai keteladanan," seru Khalid disertai jok-jok yang khas membuat peserta pelatihan terpingkal-pingkal.
Lebih jauh Kepala KUA Campalagian itu mengungkapkan bahwa sifat dan sikap kepemimpinan bagi remaja masjid berpeluang menjadi agen perubahan dimulai dari tempat yang dipahami sebagai tempat suci seperti rumah ibadah. "Jadi jangan sekali-sekali menjadikan masjid sebagai pasar yang riuh dan bersifat transaksional. Justru, sebaliknya pasarlah yang harus di masjidkan," tegas Khalid dihadapan peserta pelatihan yang menghadirkan beberapa pemateri seperti, Rasak, Kepala Bidang Kesejahteraan Rakyat, Setda Provinsi Sulbar, dan dua pemateri di hari kedua yakni Amuru Sadong serta M. Syariat Tajuddin.
Razak yang tampil sebagai pemateri pertama lebih banyak menyinggung soal mekanisme pengusulan program kegiatan dan bagaimana menjalankan program kemasyarakatan yang diharapakan bermuara pada kemandirian, "salah satunya kemandirian untuk menumbuhkan benih-benih kepemimpinan dari para remaja masjid," seru Razak di acara yang dibuka secara resmi oleh Ibrahim Kepala Biro Setda Provinsi Sulbar.
Kebudayaan Mandar
Amru Sadong sebagai pemateri pertama pada hari kedua (03/01) siang ini, lebih banyak menyerukan bahwa seorang pemimpin mestinya dimaknai sebagai perwakilan Tuhan atau khalifatullah. "Pemimpin yang menjadikan posisinya sebagai wahana untuk memposisikan diri sebagai hamba Allah SWT agar dapat menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya," seru Amru yang juga merupakan dewan pendiri lembaga Teater Flamboyant Mandar.
Lebih jauh Amru, memberikan semangat kepada para Remaja Masjid Babussalam bahwa seorang pemimpinan harus memiliki jiwa seni, suka berfikir-berzikir atau gemar ibadah. Hal itu sejalan dengan pandangan Syariat pemateri kedua, yang kembali mengingatkan kepada remaja masjid untuk memberikan keteladanan dalam upaya perbaikan mental masyarakat. Mental masyarakat yang jika diamati pada mekanisme memilih pemimpin, biasanya hanya disandarkan pada kalkulasi yang bersifat materi.
Padahal, kata Syariat, pemimpin harusnya bersedia memanggul nilai-nilai kepemimpinan yang menjunjung tinggi adat dan adab budaya tempatan dimana pemimpin itu mengeluarkan ragam kebijakan yang dimuarakan pada kesejahteraan rakyat secara baik dalam bentuk materi dan non meteri. "Keagungan nilai pada kebudayaan Mandar cukup memungkinkan untuk dijadikan bekal bagi calon pemimpin untuk menata masyarakat yang berkeadilan," tegasnya.
Lihatlah lakon Puang Cadia dalam I Kauseng yang menyaksikan anaknya sendiri dibunuh dipangkuannya sendiri demi menjaga wibawah kepemimpinan sebagai pusat keteladanan. Amatilah cara tetua Mandar menempatkan kata keadilan bagi kedua pihak berseteru yang harus rela masuk ke dalam satu sarung untuk baku tikam. "Cara para pemimpin Mandar kita dulu mestinya dijadikan rujukan dalam ketegasan menjadi seorang pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kejujuran dan keadilan," kunci Syariat.
[LIF/yat]
|