Sulbar.com - Suara batuk membangunkan wanita tua yang duduk di atas ranjang, pada jam dua malam itu. Wanita tua ini bernama Nenek Maida yang umurnya sudah 69 tahun. Keriput sudah tampak pada permukaan kulitnya. Bintik-bintik hitam berserakan begitu saja di kulitnya tanda penuaan. Terang saja, usianya sudah 69 tahun. Giginya pun sudah ompong.
Diusap kepalanya untuk merapikan rambutnya yang sudah berwarna perak. Suara batuk terdengar lagi yang sumbernya dari samping Nenek Maida. Dilihatnya bocah yang berumur tujuh tahun sedang terlentang dengan wajah pucat. Tubuh bocah itu kurus, bibirnya tampak mengering. Tatapannya kuyu menatap kearahnya Nenek Maida.
Bocah itu menggerakan bibirnya seolah bicara. Nenek Maida seperti mengerti isyarat bibir bocah itu. Diambilnya gelas berisi air dengan sedotan menancap di tengah gelas. Dari atas meja yang ada di depan ranjang Nenek Maida pelan mengarahkan ujung sedotan ke arah mulut bocah itu. Bocah itu menelan beberapa teguk. Lalu mengeluarkan sedotan dari mulutnya.
Nenek Maida menatap lekat wajah bocah itu yang matanya mulai tertutup, di usapnya kepala bocah itu lalu pelan keningnya di kecup, "kau akan sembuh cucuku," bathin Nenek Maida setelah menutup selimut tubuh bocah yang tak lain adalah cucu Nenek Maida.
Langkah kaki gontai mengayung masuk ke kamar mandi yang tersambung dengan kamar utama Nenek Maida. Air mengalir deras dari lobang kran, pecahkan kesunyian malam. Nenek Maida mengambil air wudhu untuk sholat tahajud tengah malam. Di belakang pintu kamar tergantung mukena, sajadah dan sarung yang telipat di atas lemari.
Dalam lafal takbir yang menguat tampak terdengar pelan dari mulut Nenek Maida. Pada sujud terakhirnya Nenek Maida melafalkan do’a dalam suara yang pelan dan nyaris tak terdengar. "Ya, Tuhan beri rezkiMu, pertemukanlah cucuku dengan Dr. Fadli."
Nenek Maida menyelesaikan rakaat sholatnya, setelah witir dan dzikir kembali Nenek Maida tengadakan tangannya, bibirnya kian teguh kembali melafalkan do’anya, "Ya, Allah yang pengasih dan penyayang beri rezkimu untuk cucuku agar bisa berjumpa dengan dr. Fadli sebagai jalan Engkau ridhoi untuk kesembuhan cucu hambamu ya Allah," begitu tutur Nenek Maida seraya mengaminkannya bersamaan saat ia mengusap mukanya.
Nenek Maida terperanjat, gemuruh terdengar keras. Petir meyambar-nyambar. Angin bergemuruh dan terdengar nyata diserta air hujan yang tumpah begitu deras. Seolah memberi tanda bahwa doa Nenek Maida diijabah oleh yang kuasa.
Dalam setiap sholat dan kesempatan berdo’a Nenek Maida hanya punya satu lafas do’a agar cucunya diberi kesempatan bertemu dr. Fadli. Do’anya ini sudah di lafaskan sejak enam bulan terakhir, saat dokter yang ada di Puskesmas yang tak jauh dari tempat tinggalnya mengatakan padanya hanya dr.Fadli yang bisa mengobati cucunya yang mengidap penyakit kronis. Penyakit yang bisa membuatnya meninggal seketika.
Entah apa nama penyakit cucunya itu. Nenek Maida juga tidak tahu. Yang pasti cucunya yang telah meginjak usi tujuh tahun itu kini hanya bisa berbaring di ranjang. Persendiannya tak berfungsi lagi, minta makan dan minum dalam satu bulan terakhir ini hanya dalam bahasa isyarat saja.
Nenek Maida hanya tinggal bersama cucunya, suaminya sudah lama meninggal. Sedang bapak dan ibu cucunya entah siapa? Nenek Maida juga tak tahu. Demikianlah, cucunya yang sedang sakit ini, ditemukanya didepan rumahnya dalam dos saat masih ia masih bayi. Entah orang tua mana yang tega meletakan anaknya dan meninggalkannya. Dan itu tujuh tahun lalu.
Nenek Maida denga telaten membesarkannya. Kelihatan dari cara merawatnya yang tak ubahnya dengan cucu sendiri. Nenek Maida tidak hanya sekedar berdo’a untuk bisa bertemu dr. Fadli yang menjadi harapan satu-satunya untuk kesembuhan cucunya. Namun Nenek Maida juga menabung sedikit-demi sedikit uang dari hasil menjual nasi kuning di teras rumahnya yang telah lama ia sulap menjadi warung. Seagai sumber penghasilan satu-satunya sejak berkeluarga.
Nenek Maida harus mengumpulkan uang yang banyak untuk bisa berjumpa dengan dr. Fadli, karna menurut petugas medis lain yang ada di Puskesmas dr. Fadli tinggal di kota yang jauh, harus dengan pesawat ia datang. Itupun dua kali naik pesawat. Tapi jarak itu, tak mampu memupuskan harapannya untuk tetap berusaha dan berdo’a untuk membawa cucunya berobat jika kelak dr. Fadli datang. Tak peduli seberapapun biaya yang di harus dihabiskan untuk itu.
Nenek Maida melangkahkan kakinya menuju dapur. Memasak nasi kuning yang akan dijualnya beberapa jam lagi kedepan. Pelanggan Nenek Maida rata-rata pekerja bandara, cleaning service, tukang becak dan buru di bandara, sopir taksi, serta penumpang pesawat yang kebetulan lewat di depan rumahnya yang merasa lapar.
Demikianlah selain letak rumah atau tepatnya warung Nenek Maida tak jauh dari bandara, nasi kuning Nenek Maida sudah di kenal di seputaran bandara. Karena selain enak harganya juga terjangkau.
Adzan subuh terdengar, Nenek Maida sudah tinggal buka warungnya. Nasi kuning dan lauknya sudah siap semua untuk dihidangkan pada pelanggan. Nenek Maida mengambil kesempatan untuk mengambil dua rakaat sebelum pelanggan berdatangan. Lagian cuaca masih sangat buruk, hujan deras masih saja bergemuruh dan petir menyambar biasanya pelanggan masih malas ke warung saat hujan seperti ini. Masih tetap doa yang sama yang di lafaskan Nenek Maida di usai sholat subuhnya, "Ya…Allah berilah rezkimu untuk kesembuhan cucu hambamu ini ya Allah. Juga untuk segera berjumpa dengan dr. Fadli sebagai jalan yang kau ridhoi untuk kesmbuhannya".
Di lihatnya cucunya yang terbaring di ranjang diusap lagi kepalanya. Di cium lagi keningnya. "Tuhan akan menyembuhkanmu nak, sabarlah," kata Nenek Maida pada cucunya yang masih kelihatan pulas.
Nenek Maida kemudian melangkah membuka lemarinya di ambilnya kotak persegi empat yang dijadikan celengan dalam lemari itu. Nenek Maida menghitung uang simpanannya, lalu menghela nafas, terpahat sedih di wajahnya, "masih kurang banyak," ucapnya lirih sambil melihat kembali pada cucunya dengan senyum yang pilu. Kemudian kotak kayu itu dikembalikan ke lemari. Tok... tok... "Nek Maida... Nek Maida..." begitu suara terdengar ada orang yang mengetuk pintu sambil memamanggil namanya.
"iya siapa?" tanya Nenek Maida. "Nenek jual nasi kan hari ini?" suara orang di depan rumah Nenek Maida. "Iya ada. Tunggu sebentar ya," seru Nenek Maida yang masih ada di dalam kamar. Pelan Nenek Maida keluar membuka pintu depan. Nenek Maida meski telah berumur 69 tahun, tapi ia masih sangat lincah dalam mengerjakan apapun.
Lututnya tidak sedikitpun bergetar melangkah. Semangatnya tak pernah surut dalam bekerja "Oh, kamu Ucok?" kata Nenek Maida saat melihat di depan pintu seorang lelaki yang menggunakan seragam cleaning service bandara itu. Dia adalah langganan Nenek Maida dan yang membantunya setiap hari untuk membukaan warungnya.
"Maaf nek, saya terlambat datang ke sini, soalnya hujan tak juga kunjung reda," kata Ucok. "Tidak apa-apa. Ayo kamu ambil nasinya di dapur," pinta Nenek Maida.
Ucok langsung masuk ke dapur dan membawa nasi yang masih dalam periuk besar yang sudah di siapkan Nenek Maida sejak dini hari tadi. Nenek Maida mengatur piring dan gelas di atas meja panjang yang terbuat dari kayu. Di sudut kanan terdapat meja kecil dengan lemari kaca. Dan di atas meja kecil itulah. Tepatnya di depan kaca tertulis Jual Nasi Kuning. Dalam lemari kaca inilah Nenek Maida menyimpang menu nasi kuningnya dan meja kecil di bawah lemari terdapat laci untuk menyimpang uang. Di depan teras terdapat tirai penutup untuk melindungi pelanngan yang sedang makan di meja panjang. "Sudah mau sarapan Ucok?" tanya Nenek Maida pada Ucok yang duduk di kursi menumpuhkan sikunya pada daun meja menyanggah dagunya. "Iya nek, perutku sangat lapar. Mungkin ini pengaruh cuara dingin," jawab Ucok dan Nenek Maida segera menyiapkannya.
"Bagaimana keadaan Septiani nek?" tanya Ucok lagi disela menunggu hidangan. Kamu tidak liat dia tadi saat ambil nasi di dapur," kata Nenek Maida.
"Saya tidak sempat liat ke kamar nek, saya buru-buru angkat nasinya" tutur Ucok lagi.
"Kondisi gadis cilik itu makin memburuk Ucok, untung saja masih mau makan," sambut Nenek Maida, sambil meletakan piring di depan Ucok yang sudah berisi nasi kuning dan lauknya.
"Semoga saja Tuhan memberi rezki yang banyak dalam satu bulan terakhir ini. Agar ongkos berobat segera cukup, biar segera saya bisa membawa Septiani ke kota Dr Fadli," tutur Nenek Maida perih.
"Masih banyak ya, kurangnya nek? nanti saya juga akan bantu nenek mencarikan tiket murah di Bandara," timpak Ucok sambil makan nasinya Ucok bicara.
"Masih banyak Ucok, butuh waktu satu atau dua bulan lagi menabung, Ucok sudah sangat membantu nenek di warung ini dengan tidak meminta gaji," tutur Nenek Maida lagi dengan suaranya yang agak parau.
"Sabar ya nek…" singkat Ucok sambil terus makan.
Perlahan hujan mereda. Petir tidak lagi menyambar. Remang cahaya pagi sudah menperjelas orang-orang yang berseliweran di depan rumah Nenek Maida dan empat lelaki masuk ke warungnya. "Nasi nek, empat porsi makan di sini,” pesan pelanggan. Nenek Maida segera menyiapkan pesanannya.
***
"Waduh cuaca malam tadi betul-betul buruk. Pesawat banyak menunda keberangkatan. Ada juga yang sudah boarding, tapi passenger di sturunkan lagi, menunggu hingga cuaca membaik," kata salah satu lelaki pelanggan Nenek Maida yang berbincang di meja makan warung. "Lebih baik begitu dari pada crash, biar lambat asal selamat,” lelaki lain menimpali. "Ada juga itu pesawat entah dari mana yang melakukan drivert di bandara kita ini," tambah lelaki itu. "Wah, cuaca benar-benar buruk bapak-bapak ya…?" kata Nenek Maida sambil memberikan hidangan pada mereka dibantu Ucok.
Warung Nenek Maida terus dikunjungi para pelanggan, Ucok dan Nenek Maida sangat sibuk melayani pelanggan yang datang hingga tidak terasa waktu sudah menunjukan 08.30 pagi. Hujan semakin menipis.
Suasana warung Nenek Maida sudah mulai sepi. "Ucok jaga warung dulu ya…" pinta Nenek Maida pada Ucok yang sedang cuci piring. "Nenek mau kemana?" tanya ucok. "Saya kasih sarapan dulu Septiani," jawab Nenek Maida. "Iya..nek"
Nenek Maida masuk ke dalam rumah, baru saja Nenek Maida, hilang di pandangan Ucok, mobil taksi berhenti di depan warung. Ucok menyikap tirai warung dilihatnya, sopir taksi turun dan berlari kecil masuk warung.
"hei Ucok, nasinya masih ada kan" tanya sopir taksi yang mengenal Ucok. "Untuk Randy yang pelanggan tetap pasti masih ada," tutur Ucok pada sopir yang di panggilnya pak Randi. "Saya tidak sendiri, ada penumpangku juga yang mau makan, masih adakan nasinya untuk dua orang," tambah Pak Randy. "Kenapa tidak diajak masuk, tidak usah kwatir nasinya masih ada untuk beberapa orang lagi kok"
Mendengar itu Pak Randy kembali ke mobilnya, tak seberapa lama masuk lagi di warung bersama lelaki yang berpenampilan rapi berkumis tipis dan raut muka yang tampak peramah
"Silahkan duduk Pak Randy dan ajak juga temannya duduk," kata Ucok pada pelanggannya. "Nenek Maida mana?" tanya Pak Randy sambil duduk disamping penumpangnya. "Tunggu sebentar, kasih sarapan cucunya dulu di dalam," jawab ucok. "Kasih tau nenek, kami buru-buru ini, jangan sampai penumpang saya ini ketinggalan pesawatnya," kata pak Randi agak terburu. "Tidak usah buru-buru pak. Pesawat saya baru leaving for, sore hari. Itu tergantung cuaca juga," terang penumpang pak Randy. "Tapi perut saya sudah lapar pak," tambah pak Randy dibarengi senyum geli. "Walah pak Randy bilang saja kalau lapar. Jngan kambing hitamkan orang. Ttidak baik itu kambing hitamkan orang. Lempar batu sembunyi tangan," protes ucok.
Nenek Maida Nampak dari dalam rumah dengan raut yang sangat sedih. Tapi masih memberi senyum pada Pak Randy dan penunmpangnya
"Tunggu sebentar ya nak," sambil melangkah untuk menyiapkan hidangan "Ucok piringnya dua," pintanya lagi. Tak berapa lama nasi sudah dihidangkan lagi di depan Pak Randy dan penumpangnya itu.
Nenek Maida duduk di depan meja kecilnya, Ucok memperhatikan mereka yang duduk di kursi panjang yang berjarak hanya sekian centi dari Nenek Maida, sedang Pak Randy dan penumpangnya makan dengan lahapnya.
"Nenek letih ya?" tanya Ucok pada Nenek Maida yang dijawab dengan menggeleng. "Septiani… Ucok" tuturnya lirih "Kenapa dengan Septiani nek. Dia baik-baik saja kan?" desak Ucok. "Makannya hanya beberapa suap, tidak seperti kemarin-kemarin nasi satu piring di habiskannya," sedih hati Nenek Maida ucapkan dialognya. Pandangannya hampa. "Yang sabar ya nek. Insyah Allah Septiani akan baik-baik saja," Ucok mencoba menabahkan Nenek Maida. "Teman-teman sebayanya sudah sekolah. Septiani juga harusnya sudah sekolah. Ketika masih sehat, dia selalu di sini, kau liat kan Ucok bagaimana dia dengan bebagai pertanyaan pada setiap orang yang datang. Anak itu sangat cerewet Ucok, lengan ini yang selalu pijit-pijitnya. Nenek masih capek tunggu sebentar lagi tahan saja pijitanku nanti. Kalau saya sudah pulang sekolah saya akan pijit nenek," itu katanya Ucok setiap saya menyuruhnya behenti memijit lenganku dia tidak mau berhenti," kenang Nenek Maida dengan mata yang berkaca-kaca.
"Apa ada yang sakit di rumah ini," tiba-tiba penumpang mobil pak Randy bertanya. Nenek Maida menghapus air matanya dan segera mengalihkan pandangannya pada orang bertanya itu. Nenek Maida melihat masih ada nasi di piringnya tapi sudah berhenti makan. "Maaf nak, bila selera makanmu terganggu dengan penbicaaranku dengan Ucok," katanya. "Tidak bu, saya sudah kenyang bu. Saya tidak terganngu," sanggah penumpang itu. "Iya pak, cucu nenek sudah setengah tahun ini, terbaring sakit di kamarnya tidak tahu sakit apa," jawab Pak Randy menimpali.
"Wah kasian kalau begitu, boleh saya melihatnya ke dalam, kebetulan saya tahu sedikit tetang medis," pinta penumpang itu lagi. "Boleh nak. Boleh, ayo kita masuk," ajak Nenek Maida pada penumpang itu, mereka masuk ke dalam rumah, Ucok dan pak Randy hanya mengikuti mereka dengan tatapan.
Setiba di kamar penumpang itu duduk di bibir ranjang, dilihatnya Septiani, hanya matanya yang bisa berkedip dan mulutnya yang menganga. Sedang seluruh tubuh bocah itu lumpuh total.
"Ibu tidak membawanya ke rumah sakit?" tanya penumpang itu lago. "Sudah bolak balik masuk ke rumah sakit nak, tapi tidak ada perubahan. Dokter hanya bilang cucuku menderita sakit yang kronis," Nenek Maida coba menjelaskan pada penumpang itu yang sedang melihat mulut Septiani.
"Sudah berapa lama tidak bisa bicara bu?" tanyanya lagi "Baru satu bulan terakhir ini," jawab Nenek Maida. "Tidak ada dokter yang datang mengontrolnya?" sambil memijit siku Septiani. "Ada. Namanya dr. Erfan, tapi bukan dokter rumah sakit, melainkan dokter di Puskesmas," jelas Nenek Maida lagi. "Sepertinya saya pernah dengar namanya," sambil menekan lutut Septiani yang tidak memberi reaksi lagi. "dr. Erfan orangnya baik seminggu sekali dia datang untuk memeriksa cucuku. Dia juga yang menyarankan untuk membawah cucuku ke tempat dr.Fadli yang tinggalnya jauh dari sini. Nah kesana itu tentu butuh biaya yang banyak," cerita Nenek Maida. "dr.Fadli? kalau tidak salah dengar nenek menyebut dr. Fadli tadi," tanya penumpang itu kaget. "Iya kata dr. Erfan hanya dr. Fadli yang bisa sembuhkan cucuku dan..." "Tunggu dulu bu… dr. Erfan, apa orangnya tinggi kulitnya putih, rambutnya dibelah samping dan punya jenggut tipis tapi tidak punya kumis?" potong penumpang itu. "Iya nak, apa kamu mengenal dr. Erfan? Dialah yang menyarankan untuk membawa cucuku ke dr. Fadli. Saya sudah enam bulan menabung ongkos dan sudah setengah tahun saya terus berdoa untuk bisa membawa cucu saya ke dr. Fadli. Semoga bulan ini, saya sudah bisa membawa cucu saya sesuai dengan harapanku" tutur Nenek Maida penuh harap.
"Bu, dr. Erfan itu sepupu saya dan saya tidak pernah tahu keberadaannya sudah hampir 10 tahun saya tidak pernah bertemu. Adiknya pernah menderita sakit seperti yang di derita cucu ibu, dan alhamdulilah saya yang merawat adik dr.Erfan dan sembuh. Iya bu…sayalah dr. Fadli itu." Pengakuan penumpang itu sebagai dr. Fadli yang selama ini disebut dalam doa Nenek Maida. "Ya…Allah, benar kamu dr. Fadli?" mata Nenek Maida terbelalak mendengar pengakuan dr. Fadli.
"Sungguh nyata kekuasaanmu ya Allah, kamu bisa kan sembuhkan cucuku ini," harap Nenek Maida ditemani air mata haru yang pelan menetes di pipinya. "Insyah Allah saya bisa dengan izin allah jua bu," tutur dr. Fadli santun. "Tunggu saya akan ke tempatmu nak. Satu bulan lagi saya akan ke tempatmu membawah cucuku. Tunggu saya nak. Tunggu saya," girang hati Nenek Maida mendengar ke sanggupan dr. Fadli. "Tidak perlu tunggu satu bulan bu. Hari ini juga, ibu dan cucu ibu akan saya bawah ke tempatku demi kesembuhan cucu ibu," ujar dr. Fadli seraya memeluk Nenek Maida. "Tapi, uang saya belum cukup nak," lirih Nenek Maida. "Jangan fikirkan itu lagi. Inilah alasan Tuhan mengapa pesawat saya terdrivert di bandara ini. Tuhan sedang ingin mempertemukan kita bu. Tuhan ingin menjawab doa ibu. Tuhan memberi izin untuk saya sembuhkan cucu ibu," tutur dr. Fadli lagi dengan tetap memeluk erat Nenek Maida. "Terima kasih nak. Terima kasih..ya Allah ya Rahman ya Rahim…sungguh nyata kekuasaanmu. terima kasih ya Allah telah menjawab setiap doa’ku," Nenek Maida meneteskan airmatanya dalam sujud syukurnya.
Pelan Nenek Maida bangkit dari sujud syukurnya mendekati cucunya dan memeluknya dengan erat. "Bersyukurlah nak. Kamu akan sembuh dengan izin allah. dr.Fadli sudah ada disini, kita akan segera ke tempatnya untuk kesembuhanmu nak," air mata Nenek Maida terus dan kian membanjir di pipinya yang telah keriput itu. Menyaksikan itu, dr. Fadli larut pula dalam haru.
Bantaeng, 10 April 2015
Catatan: • Boarding: naik ke pesawat • Passenger:penumpang pesawat • Drivert:mendarat di bandara yang bukan tujuan • Leaving for: akan berangkat ke
|