Mengawal gagasan, peristiwa dan informasi Sulawesi Barat [ Beranda ] [ Tentang : Sulbar ] [ Hubungi Kami ] [ Menulislah disini ! ] [ Pedoman Pemberitaan ] [ Maps ]

SulbarDOTcom
Kalindaqdaq (Pantun Mandar) :

"Accur tongani ateu Marere rapang sia Sawaq batammu Usenga, usalili."
Betapa remuk redamnya hatiku Hancur luluh bagaikan garam Disebabkan tubuhmu Yang selalu kukenang, senantiasa kurindukan

CERPEN
Suara Cinta
SulbarDOTcom - Suara Cinta


 Penulis
: HENDRA DJAFAR
 Sabtu, 23 Januari 2016 07:36:13  | Dibaca : 2447 kali
 
Sulbar.com - "Menulis karya sastra adalah menulis jejak bathin kita. Artinya, kita bisa melihat diri kita dalam karya, karakter dan sifat kita, serta sejarah perjalanan hidup kita". Ucapan salah seorang guru semasa SMA itu selalu memantik motivasiku untuk menulis karya sastra bergendre puisi.

Tak sedikit sejarah yang kuabadikan dalam puisi, meski kerap hasilnya tidak seperti harapanku. Menuliskan kisah dan kekasih dalam deretan huruf-huruf adalah hal yang ingin kutuntaskan malam ini, pandanganku tertuju pada lembaran kertas yang terserak begitu saja di meja. Kurapikan lembaran-lembaran itu, kemudian kuraih pena dan mulai menulis di atas kertas yang baru saja kuambil dari laci.  

Sajak untuk Kekasih


Sejak bekisar dalam jalanku
Arti tatap dan senyummu tak tertafsir
Hingga kecewa datang tanpa kata
Oh...luka inilah hadiah kemenangan
Dari ribuan masa aku merindu
adab cinta setia dan kejujuran
kupersembahkan padamu
Kau beli dengan kepalsuan dan khianat
Buain cinta yang sering kau dengungkan
Melayangkan  aku merangkul bulan
Kata cinta itu jadi duri di ranjangku
Pecahan kaca di pembaringanku
Kecewa tanpa kata  datang  meminta air mata
Tidak aku beri
Walau kini jaga adalah hampaku.


Ingin sekali aku mencoret-coret puisi ini. Puisi yang aku anggap lahir tanpa dasar, serasa ingin membuangnya di tempat sampah, setelah aku sadari kenyataan dalam puisi ini sangat berbeda dari kenyataan cintaku yang kini berbunga-bunga, mekar kasturi harumnya. Tapi entahlah. Setiap aku menulis puisi untuk kekasihku, yang lahir adalah luka, kecewa. Puisi ini tidak sesuai lagi dengan harapanku.

“Akh...puisi hanyalah imajinasi belaka, tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan,” gumamku.

Malam semakin merambat, hanya denting jam dinding di kamarku yang sesekali memecah hening. Aku masih berjibaku dengan deretan kata. Aku mencoba menulis lagi. Rasa kantuk dan keinginan menulis bertarung dalam diriku, namun setelah menuliskan beberapa larik akhirnya kantuk benar-benar menguasaiku. Gema azan subuh membahana ke segala ruang. Kudapati tubuhku tertidur dengan melipat tangan menyangga kepalaku di atas meja. Masih sempat kulihat larik-larik puisi sisa tulisanku semalam. Tak sempat kubaca, sebab intuisiku menuntun untuk segera mengambil air wudhu.

Suasana rumah masih lengang, bapak dan ibu rupanya belum bangun. Pelan kuketuk pintu kamar. Dari dalam kemudian terdengar suara sahutan. Pertanda bapak dan ibu telah terbangun. Akupun bergegas ke kamarku dan melaksakan sholat dua rakaat. Ada perasaan damai menjalari urat syarafku, waktu subuh memang selalu membuatku takjub. Bukan berarti waktu sholat yang lain tak cukup membuatku damai. Tapi subuh membuatku merasa lebih leluasa bercengkerama dengan Tuhan.

Doa itu seperti puisi, yaitu tempat paling damai menumpahkan segalanya, amarah, kecewa, tawa, bahagia. Dering Handphone membuyarkan pikirku, satu pesan baru, nama Aurel terpampang di layar handphone.

“Sudah bangun puisiku?
Aku rindu puisiku...
Puisiku merindukanku tidak?”
Sms Aurel, ia memanggilku dengan sebutan puisiku, sebagai ungkapan sayang katanya.
“Sudah bangun dari tadi.
Rindu? Memang pernah aku tidak merindumu?  ” balasku.
“Hmm...terimakasih atas rindumu puisiku...
Ya sudah...aku masih mengantuk
Nanti kita ketemu di kampus yah puisiku... “ balas Aurel.
“Iya” balasku singkat.

****

Aurel. Aku mengenal gadis cantik itu sejak semester awal, mengambil jurusan yang sama denganku di kampus. Aku tak menganggap pertemuanku dengannya adalah kebetulan, seperti slogan yang pernah kubaca, bahwa tak ada hal sekecil apapun di dunia ini yang terjadi secara kebetulan, semuanya sudah terdesain sedari awal.
Aku berharap perkenalanku dengan Aurel memang sesuatu yang sudah ditakdirkan, bukan kebetulan semata. Sebab aku sangat terpesona dengan kecantikannya sejak pertama melihatnya. Yang menambah ketertarikanku, Aurel suka membaca puisi. Itu terbukti, setiap ada lomba baca puisi di kampus maupun di luar kampus Aurel selalu menjadi yang terbaik. Masih terekam jelas di ingatan, ketika kisah kasih bersama Aurel bermula, saat itu Aurel meminjam buku padaku, untuk menyelesaikan tugas kuliah.

“Puisimu bagus Rian, terimakasih yah...” kata Aurel sambil menyodorkan buku, ditemani senyum yang merekah di wajahnya.
“Puisi?” aku mengernyitkan dahi, tak mengerti maksud Aurel sebab buku yang dipinjamnya bukan buku puisi melainkan buku filsafat.
“Iya...puisi yang kau tulis dan kau selipkan dalam buku itu, aku sangat suka membacanya, sungguh telah menyentuh hatiku, itu untukku kan? dan aku jawab puisimu, iya aku menerimamu...”

Aurel meninggalkan aku di ruang kelas tanpa memberi kesempatan padaku untuk bertanya. Dari ujung mata kulihat bibirnya menyungging senyum, pipinya merona menambah ayu wajahnya.
Buku yang baru saja diberikan Aurel kubolak-balik, mencari dari halaman ke halaman lain, tapi tidak kutemukan kertas bertuliskan puisi seperti yang dikatakan Aurel. Kucoba memeras ingatan, namun tak sedikitpun terlintas dalam memoriku tentang puisi yang dimaksud Aurel telah aku tulis untuknya.

Bila memang ada puisi, itu tidak sengaja aku selipkan, jangankan judulnya, isi lariknya sedikitpun tak ada yang terlintas di kepalaku. Benakku diserbu ribuan tanya. Aku kembali mengingat puisi-puisi yang pernah aku tulis setelah mengenal Aurel, puisi-puisi atas kekagumanku padanya. Aku memang sangat lemah dalam pengarsipan karya, puisi-puisi yang aku tulis di luar kamar, aku letakkan begitu saja. Mungkin memang pernah aku menulis dan menyelipkan dalam buku ini dan kebiasaan  menulis puisi dengan kertas selembar, jadi sangat memungkinkan bahwa puisi yang dimaksud Aurel memang puisiku, lagi pula sejak masuk kuliah hanya Aurel seorang yang aku kagumi.

“Aku ingin meminta puisi itu pada Aurel, bisa jadi cahaya yang kulihat di matanya adalah pendar-pendar cinta. Akh...bodoh masih memikirkan puisi apa dan bagaimana, yang jelas Aurel menerima kekagumanku padanya, Aurel mengatakan bahwa ia menerimaku! Aurel menerima cintaku” pikiran dan hatiku bercengkerama, sekaligus melonjak gembira, gemuruh di dadaku semakin kencang, aku melenggang dengan rasa bahagia, kupercepat langkahku menuju kantin.

***

Perlahan cahaya matahari menanah masuk ke kamar, jendela kubiarkan terbuka, aroma tanah basah seketika menyeruak, embun belum habis tersesap mentari. Di atas meja ada kertas selembar yang berisi deretan huruf.
“Ini  puisi  kedua yang aku tulis semalam sebelum tidur” ingatku. Aku membacanya belum ada judul.

Dari jendela yang pernah kau buka
Ku temukan kau yang  tersenyum
Kisah kita tersinggung lagi
Rinduku membara lagi
Andai reda rinduku padamu
Tentu reda sunyiku kini
Kau tolak bahagiaku
Mengundangkan sepi untukku
Sunyi sapamu
Rinduku terus bernyanyi
Sedang namamu kupanggili
Tak cukup lagi redakan rindu
Lalu manusia mana kan bahagia
Bila kehilangan cinta
Hanyalah kesepakatan sementara
Bukan cita terus bersama
Demikianlah cinta persembahanmu
Dan kesan yang pernah ada
Adalah derita yang kusenyumkan.


Entah mengapa rasa takut menyergapku tiba-tiba setelah membaca puisi ini. Aku mengingat cerita-cerita para penulis yang menulis secara imajinasi tapi kemudian terjadi secara nyata dalam kehidupannya.

Chairil Anwar misalnya, menulis puisi Catatan 1943. Dalam puisi itu digambarkan dimana Chairil akan dikuburkan, yaitu di Karet. Ternyata benar kuburan Chairil ada di Karet Jakarta. Bahkan dalam puisinya yang lain, Chairil menulis  ingin hidup seribu tahun, hal itu juga akan benar terjadi sebab hingga kini karya-karya Chairil Anwar masih tetap hidup dan akan tetap hidup.

Cerita guruku juga, tentang sahabatnya yang menuliskan  kematian anak kandungnya, puisi yang ditulis saat ia masih membujang, tapi saat melahirkan anak pertama, dua tahun kemudian anaknya benar-benar meninggal. Imajinasi itu tidak kosong, imajinasi itu akan terwujud dikemudian hari.

Apakah puisi-puisi yang aku tulis ini akan nyata dalam kehidupan percintaanku bersama Aurel? Itu berarti akhirnya aku dan Aurel...Akh tidak...puisi hanyalah imajinasi...sudah tiga tahun cintaku bersemi bersama Aurel dan selama itu tidak ada masalah sebab kami dasari cinta kami dengan kesetiaan, kejujuraan dan saling percaya. Ini hanyalah kekhawatiranku saja, bukankah rasa khawatir akan selalu datang pada setiap hati yang diliputi rasa cinta yang besar” kataku dalam hati, menimbang cintaku dengan logika untuk menolak apa yang lahir dalam puisiku dan menolak apa yang aku yakini tetang imajinasi yang tak kosong. Matahari pagi naik beberapa tombak, sudah saatnya aku mandi lalu bergegas ke kampus menemui pergantungan jiwaku Aurel.   

***

Seperti biasa, di bawah pohon rindang yang ada di halaman kampus selali dan selalu menjadi tempat terfavoritku. Di sini aku bisa saksikan carut marut dunia perguruan tinggi, menyaksikan mahasiswa dan mahasiswi mondar-mandir dengan aktifitas dan kesibukan masing-masing. Aurel sudah tentu tahu keberadaanku. Aku menunggunya dengan meluangkan waktu membaca buku, belum seberapa lembar yang kubaca, suara lembut yang begitu kukenali menyapa.

“Selamat pagi puisiku yang selalu aku rindu”
Aurel terlihat semakin cantik dengan balutan busana berwarna biru.
“Selamat pagi matahariku...”
aku sedikit bergeser, Aurel langsung duduk di sampingku.
“Hentikaan membaca dulu...! aku ingin menceritakan mimpiku semalam...” pinta Aurel sambil mengambil buku yang ada di tanganku dan memasukkannya ke dalam tas.

“Sudah siap dengar ceritaku? ” aku balas dengan mengganguk.
“Puisiku...semalam aku bermimpi aku menjadi peri yang sangaaaat cantik” Aurel mulai bercerita.
“Kau memang sangaat cantik, mengalahkan peri ”  godaku memotong cerita Aurel.
“Ihh..aku lagi serius ini...” sambil menatapku dengan manja.
“Maaf...lanjutkan ceritanya” kutatap wajahnya lekat.

“Aku jadi peri yang tinggal di khayangan dan aku turun ke bumi. Di bumi aku melihat pangeran yang sangaaat...gagah sedang menunggang kuda, hatiku berdebar kencang, hatiku ditumbuhi rasa bahagia, hatiku bertaut padanya dan aku telah jatuh cinta pada pangeran itu, pangeran itu terus berkuda ke desa terpencil, aku terbang mengikutinya dan ternyata di desa itu ada gadis yang ditemui sang pangeran, gadis yang aku lihat bukan putri, gadis itu rakyat jelata, tapi pangeran itu merangkulnya dengan penuh kasih sayang, hatiku sangat sakit melihat pangeran itu punya kekasih, aku menangis, ingin aku jadi rakyat jelata itu dan mendapatkan cinta pangeran. Kau tahu puisiku, siapa pangeran yang ada dalam mimpiku itu?” Aurel menoleh menatap wajahku, seperti menuntut sebuah jawaban dari pertanyaannya.

“Pangeran itu adalah kau puisiku, hingga aku bangun subuh tadi menayakan rindumu, dengan hatiku yang masih sakit setelah terbangun dari mimpi buruk itu, syukurlah pusiku masih merindukan aku, bukan rakyat jelata itu” Aurel sangat serius menceritakan mimpinya, sedih dan kesal berbaur satu di mimik wajahnya.
“Ada-ada saja...” sangkalku, menutupi perasaan geli mendengar penuturan Aurel.

“Serius aku mimpi...kaulah pangerannya dan aku peri cantik yang sakit hati.. kau tidak percaya..?  ” suara Aurel terdengar emosi.
“Iya aku percaya, dan  ketahuilah periku...walau semua peri turun dari khayangan memberikan cintanya padaku. Peri Aurellah yang akan dapatkan cintaku”
Seutas senyum tersuguh di bibirnya. Aurel menggengam tanganku.

“Jangan sakiti aku ya puisiku...walau dalam mimipiku jangan datang bersama gadis lain...! atau aku akan mati menderita karena cintamu yang khianat”
Kulihat matanya berembun, kugenggam tangannya lebih erat

“Hanya maut bisa memisahkan kita” tegasku.
Beberapa saat aku dan Aurel terdiam, larut dalam perasaan masing-masing. Hingga dering telpon Aurel mengejutkan kami.
“Halo..iya...aku tunggu di depan kampus saja...sekarang!”
Aurel memutuskan handphonenya.

“Puisiku...hari ini aku ada urusan keluarga, ini sangat penting, sebentar lagi jemputanku akan datang” Aurel mulai tergesa.
“Tidak ikut mata kuliah lagi?”  belakangan ini Aurel sering meningggalkan  mata kuliah.
“Tidak puisiku, urusan ini sangat penting, ini masalah yang sangat besar”
Aurel beranjak dari tempat duduk.

“Kalau begitu biar aku membantu menyelesaikan masalahmu. Ceritalah apa yang telah terjadi hingga begitu banyak mata kuliah yang tidak kau ikuti ” desakku.
“Maaf...karena tak bisa melibatkanmu dalam masalah ini puisiku...suatu saat aku akan menceritakannya padamu” Aurel meninggalkanku keluar dari gerbang kampus, disana sudah ada mobil jemputan Aurel.
“Masalah apa yang sedang dihadapi Aurel? Semoga masalahnya cepat selesai” do’aku dalam hati.

Langit masih tampak cerah meski  waktu sudah sore, aku pulang ke rumah dengan tugas makalah yang menumpuk, setelah melaksanakan 4 rakaat aku merebahkan diri beristirahat sejenak. Bayangan Aurel terus saja bermain di kepalaku hatiku tak tenang mengingat Aurel sedang dalam masalah, aku terus coba menelpon Aurel, namun Hpnya tidak aktif, kutelpon berulang kali hingga Hp lowbett dan mati total. Lelah dan kantuk menyerangku, saat aku hampir terpejam aku dikejutkan bunyi bell di depan rumah.

“Aurel...?” yang berdiri di depan pintu adalah Aurel, aku menatapnya serasa tak percaya  sebab ia datang tanpa memberi kabar.
“Ayo masuk...!” Aurel masuk tanpa mengeluarkan kata sepatahpun, Aurel langsung duduk di kursi ruang tamu. Wajah Aurel begitu sedih sepertinya ada sesuatu yang berkecamuk di hatinya.
“Ada apa? Bagaimana masalahmu? Semua baik-baik saja kan? ” tanyaku bertubi
“Siapa saja di rumah...?” tanpa menjawab pertanyaanku, pandangannya menyapu sekeliling rumah.
“Aku! kalau sore begini kan, kau tahu aku selalu sendiri, orang tua pada kerja semua“ “Masih melarang aku untuk untuk masuk kamarmu?” tanya Aurel lagi.

“Iyalah cantik, selama kita belum resmi tidak ada wanita yang boleh masuk kamarku, ini untuk menghindari hal-hal yang tidak boleh terjadi antara kita, kamar lelaki itu banyak setannya, tolong hargai prinsipku” pintaku setengah berharap pada Aurel untuk tidak masuk ke dalam kamarku.

“Kan kita hanya berdua sekarang aku penarasan dengan ruang kamarmu, sekali ini aja aku ingin masuk ” pinta Aurel lagi.
“Tidak boleh” tetap melarang Aurel untuk masuk kamar. Aurel terdiam ada kecewa yang tergurat di wajahnya.
“Bagaimana kalau kita makan di luar” aku berusaha mengalihkan topik.
“Terserah...”  pungkas Aurel kesal.
“Kok jawabnya begitu...??” hatiku teras pahit
“Iya aku mau kok..ayo kita keluar makan..! ” terkesan Aurel seolah tak ikhlas.
“Ya sudah tunggu sebentar yah...! aku mandi dulu...” Aurel hanya mengangguk sambil mengutak-atik telepon selulernya.
Hatiku berbunga hari ini akan jalan bersama aurel setelah lama tidak bersamanya karena kesibukan masing-masing.
“Aurel...! Aurel..peri kecilku...kau dimana?” Aurel aku tidak temukan lagi di ruang tamu kecuali tasnya yang masih tergeletak di atas meja.

“Mungkin Aurel ada di teras” kupercepat langkah menuju teras.
“Aurel juga tidak ada disini..lalu dimana Aurel? Ahk...apa Aurel ada di...?” gumamku terhenti setelah sadar dimana Aurel berada sekarang, aku tinggalkan teras dan masuk ke rumah, bergegas menuju ke kamarku. Hatiku mulai panas karena Aurel tak mengindahkan pintaku untuk tidak masuk ke kamarku, setengah berlari aku menuju ke kamar, tapi langkahku terhenti saat mendengar isak tangis yang sumbernya dari dalam kamarku.

Emosiku berubah menjadi debar-debar tak tentu, tangisan semakin jelas di indra dengarku yang aku yakini itu pasti tangisan Aurel. Pelahan aku mencoba membuka pintu, puluhan kertas berhamburan, Aurel menghempaskan lembaran-lembaran itu ke wajahku.

“Jadi ini alasanmu hingga aku tidak dibiarkan masuk ke kamarmu, ternyata selama ini kau simpan kebusukanmu di dalam kamarmu...pantas saja selama ini kau larang aku untuk masuk, agar aku tidak mengetahui semua ini, aku sangat kecewa terhadapmu Rian...” suara Aurel begitu keras menggema di ruang kamarku, amarahnya tumpah, suaranya sesenggukan menahan tangis.
“Aurel tapi ini hanya...” aku mencoba membela diri
“Aku tidak mau lagi mendengar penjelasanmu, aku tahu puisi...aku mengerti puisi..tidak ada puisi yang lahir tanpa suasana  hati penulisnya. Katakan padaku...! siapa gadis yang  pernah ada dalam hidupmu...? semua puisimu begitu jelas mengungkapkan itu. Ternyata selama ini aku hanya pelarian sepimu, puluhan puisi itu telah menggambarkan semuanya, aku membencimu Rian, kau sangat mengecewakan aku” Tangis Aurel pecah
“Cintaku hanya kau Aurel...!!” aku coba yakinkan Aurel
“Ini tidak adil Rian...sebagai wanita, jangankan untuk menduakan cinta. Memikirkan atau bepergian dengan lelaki lain yang bukan kekasihnya, bisa dianggap tidak bermoral. Tapi mengapa laki-laki bisa menjalani hubungan dengan dua wanita atau bahkan lebih. Wanita harus setia pada yang dia rindukan, sedangkan lelaki bisa membagi kerinduan, berbagi kasih sayang dengan wanita lain yang dia sukai dan melakukan semuanya seperti yang dia inginkan...” wajah Aurel bersimbah air mata.

“Tidak Aurel... kau hanya salah paham...” kucoba menenagkannya dengan menggenggam jemarinya.
“Berarti kau menuduh aku mengkhinatimu, kau tidak pernah percaya padaku..lalu untuk apa jalinan ini tanpa kepercayaan” suaranya terdengar parau, tangis Aurel semakin menjadi, aku bingung mau menjawab apa. Seketika genggaman tanganku ia hempaskan Lalu aurel berlari meninggalkanku.

“Aurel tunggu Aurel...dengarkan aku dulu...!!!” Aurel tak mendengar aku lagi, Aurel terus berlari setelah mengambil tasnya yang tergeletak di meja, aku tak sempat lagi menahannya, hingga Aurel naik taksi saat aku masih di depan pintu rumah.
“Sial...!!!” aku menggerutu sejadi-jadinya.

Seluruh sendiku serasa kaku seperti kehilangan fungsi, tak ada sepatah katapun yang bisa kuucapkan untuk meyakinkan Aurel. Berkali kudesahkan nafas berat tapi tak jua meringankan sesak di dadaku.

“Mengapa puisi-puisi ini jadi bencana dalam cintaku...?” tak henti-hentinya kukutuki lembar demi lembar puisi yang berserakan di lantai.

Aku bayangkan hidupku tanpa Aurel, tanpa cinta Aurel lagi, betapa kosong hari-hari yang kan kulalui tanpanya. Aku membekap wajahku dengan bantal dan berteriak sekeras-kerasnya, berteriak tanpa suara, berharap sesak di dadaku sedikit berkurang. Tapi sepi, sedih, gusar tak mudah beranjak begitu saja membayangkan nasib cintaku bersatu dalam nuansa khayalku aku larut dalam lamunanku sendiri. Hingga dering Hp yang tak kukenali nadanya membuatku tersentak. Aku mencari sumber suara, seketika kegusaranku memudar, melihat handphone tergelatak di lantai ditutupi kertas yang berserakan.

“Sekarang aku punya alasan untuk menemui Aurel dan menjelaskan padanya tentang rahasia puisi-puisiku, yang jadi begitu saja bahkan sebelum aku dan Aurel memadu kasih. Puisi-puisi itu tidak ada sangkut pautnya dengan jalinan cinta kami dan tidak ada wanita selain Aurel yang  pernah ada dalam hidupku, syukurlah handphone Aurel ketinggalan” ada kelegaan meyeruak di benakku, sebab sudah ada alasan untuk menemui Aurel dan menyelesaikan masalah ini.

Sesekali kuhela nafas, menenangkan diri sambil mencari kata-kata yang tepat dan mampu meyakikan Aurel, hingga cintaku tetap bersemi.

Irama lagu berjudul Rindu milik penyanyi legendaris Chrisye terdengar mengalun dari handphone Aurel dalam genggamanku.

“My heart” tulisan itu yang tampak di layar handpone.
“Ini pasti telepon dari orang  terdekat Aurel, kakaknya, ibunya atau bapaknya” pikirku

“Jika telepon ini kuangkat, akan timbul pertanyaan, mengapa aku yang mengangkatnya dan Aurel akan berada dalam masalah jika tahu bahwa Aurel ada di rumahku bukan di kampus” kubiarkan panggilan telepon tak terjawab. Hening sejenak lalu handphone Aurel berbunyi lagi, kali ini terdengar nada lebih singkat.

Satu pesan baru dari My Heart jelas terlihat dari layar Handphone. Aku biarkan saja tanpa membuka SMS itu, tidak baik membuka SMS orang, sebab itu adalah bagian dari privasi. Nada singkat itu terdengar berulang kali, entah berapa sudah SMS yang masuk, masih dari kontak yang sama.

“Lantas bagaimana kalau Aurel mengirim pesan ke nomornya sendiri, mungkin pesan ini untukku karna Hpku tidak aktif” aku menimbang sendiri, tanpa pikir panjang kubuka pesan di Handphone Aurel.
“Say...maafkan aku atas kejadian tadi” sms pertama yang aku buka, ternyata benar Aurel yang sms meminta maaf atas kejadian ini. Aku lanjutkan membuka SMS.

“Percayalah say...aku sangat menyayangimu. Tolong jawab say...! Angkat telponnya say..!!” Aurel menggunakan kata say, bukan puisiku. Ada perasaan tak biasa berkecamuk di benakku, tak biasa Aurel memanggilku dengan sebutan say. Curigaku membumbung, dengan cepat aku mulai membuka semua SMS.

“Sumpah say...aku tidak akan mengkhianatimu”
“Say...dia hanya teman baikku..percayalah say...”
“Ingat kenangan kita say...bukankah begitu manis, apa lagi waktu malam minggu saat kita di bioskop, di villa puncak, di pantai, itu sangat manis say...  ”

“Demi Tuhan say...wanita yang di restoran itu bukan pacarku dia hanya teman baik...percayalah say... ”

Serasa ada ribuan sembilu berlari tunggang langgang menuju jantungku, setelah lukanya menganga, kemudian direndam ke dasar laut. Aku  tak merasakaan kakiku menginjak lantai, nafasku memburu menahan sakit, tubuhku gemetar, seperti ada kaca hendak pecah di mataku.

Aku sungguh tak percaya Aurel akan mengkhianatiku, ternyata selama ini tidak ada urusan keluarga melainkan ia  menemui kekasihnya. Yang menjemputnya tempo hari di kampus adalah kekasihnya. Terlalu pandai Aurel memutar balikkan fakta, mengarang mimpi yang membuatku aku percaya padanya.

“Aurel apa salahku?” tanyaku ke hampa udara. Tatapanku hampa, anak sungai menjuntai di sudut mataku, aku menyesali kebodohanku. Kuhela nafas panjang berulang kali, mencoba mengumpulkan kekuatan melawan rasa sakit.

Aku melihat kertas-kertas  berserakan, puisi-puisi yang selalu aku sangkal, yang tak bisa aku terima sebagai karyaku, puisi-puisi yang aku anggap hanya imajinasi belaka. Ternyata puisi-puisiku mengingatkanku suara kebenaran, suara cinta, suara cinta Aurel yang palsu. Aku mengambil selembar kertas puisiku yang tergeletak di lantai aku membacanya.

Kelakar Menggundah

Maka pada akhirnya kita hanya bisa bersitatap sejenak lalu terluka
Maka pada akhirnya kita hanya bisa di sekitar keindahan lalu sunyi
Maka pada akhirnya kita tanpa kata kemudian sepi
Kita pernah bersama menyampaikan salam pada bunga yang hendak mekar
Kita pernah bersama pada ombak yang belum hempas
Kita bersama menyampaikan salam pada mentari yang baru terbit
Tapi, kini aku sudah sendiri menyampaikan salamku pada daun menguning
Aku sudah sendiri menyapa bulan yang kesiangan
Aku sendirian menyampaikan salamku pada siang yang disapa senja
Dan kelakar menggunda dalam penawar yang hilang
Kisah ini telah kau patahkan dengan tanganmu pernah gapai hatiku
Rindu ini kau pejamkan dengan mata yang pernah menembus sukmaku
Cinta ini kau pupuskan dengan bibirmu yang dulu pernah memberi senyuman
Hingga aku tidak bisa lagi bersimfoni syahdu
Fatwakan ke pantai-pantai pecah ombak, kau kekasihku
Tak bisa lagi mengabarkan pada senandung gelap malam
Di kala bulan meremang kau, juwitaku
Aku tak bisaa lagi mengundangkan selaksa kerinduan padamu
Di ujung malam dan di ujung hariku
Semua sudah selesai
Semua telah hampa  
Semua sudah jadi akhir dengan rindu terabai
Kelakar telah  menggunda disertai penawar yang hilang
Dan kita tak jaga lagi


Setelah membaca puisi dadaku terasa longgar, aku pungut satu persatu kertas-kertas puisi yang berserakan yang telah mengabadikan sejarah cintaku pada Aurel. Malampun datang bersama gelap cintaku. Sejak kejadian bersama Aurel, aku mulai percaya bahwa puisi adalah suara cinta yang harus kita dengar, sakit dan bahagia sama saja tetap suara cinta. Imajinasi itu tidak kosong, imajinasi itu adalah suara cinta.

Nda...
Bantaeng 30 maret 2015
 
 
Tentang Penulis
Penulis Nama : HENDRA DJAFAR

Selain aktif sebagai awak redaksi SulbarDOTcom, mantan Ketua Kosaster Siin Unasman ini juga penggiat seni budaya terlibat sebagai aktor dan sutradara di beberapa pertunjukan


ARTIKEL TERKAIT
 
KOMENTAR
 
Tulis Komentar
Nama :
Email :
URL :
Komentar :
   
   
   
     
    Catatan :
No Ads, No Spam, No Flood please !
Mohon tidak menulis iklan, spamming dan sejenisnya.
 MAIN MENU
> Home
> How to go to SULBAR
v Accomodation :
   - Hotel
   - Rumah Makan (Restaurant)
> Obyek Wisata (Destination)
> Kalender Wisata (Event Calendar)
> Directory
> Peluang Investasi (Investment)
> Perpustakaan Online (Library)
v Pemerintahan (Gov) :
   - Aparatur Pemerintah (Gov Officer)
   - UMKM / UKM


 

 

Email : info [at] sulbar.com | Email Redaksi : redaksi [at] sulbar.com

Situs ini merupakan situs berita online independen seputar wilayah Sulawesi Barat
This site is an independent online news sites around the area of West Sulawesi

copyright © 2004 - 2023 SulbarDOTcom - http://www.sulbar.com/

Online sejak 16-okt-2004

Saat ini orang Online.
Jumlah pengunjung : 2,514,219

web server monitoring service RSS