Sulbar.com - Sepang Banu-banua merupakan sebuah perkampungan yang secara adminisratif berada dalam wilayah Desa Lembang-lembang Kecamatan Limboro Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Jarak dari kota Polewali sekitar 50 km. Apabila ditempuh dengan kendaraan roda dua (motor), maka perjalanan akan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam.
Tiba di Sepang, dari arah barat tak jauh dari perkampungan, akan kita dapati liukan sungai Mandar yang indah dan bening. Yang menggambarkan bagaimana kebeningan hati Warga Sepang yang dikenal ramah dan santun . Kampung itu memang sejak dulu dikenal bersahaja. Disetiap sudut kampung, tutur yang ramah dari warganya akan kita jumpai. Bisa dikatakan, penduduknya seratus persen adalah orang Mandar yang beragama Islam dan teguh mempertahankan tradisi leluhur. Hingga saat ini ajaran para tetua tetap mereka pertahankan. Hal itulah yang kerap menentramkan jiwa bagi siapa pun yang menyempatkan waktu untuk sowan di kampung kecil nan teduh itu.
Panorama sungai Mandar yang hulunya bersumber dari pedalaman Ulumanda Kabupaten Majene, daerah Mandar yang kerap diceritakan oleh sebahagian orang memiliki aura mistik, dan gaib. Dari sana, alirannya melewati sejumlah perkampungan, tebing-tebing, dataran sedang dan rendah hingga akhirnya bermuara di Ga’de, sebuah kampung nelayan yang terletak di kaki bukit Cipping Tinambung. Kampung Ga’de masuk dalam wilayah Desa Tangnga-tangnga, Kecamatan Tinambung Polewali Mandar.
Aliran sungai yang bisa dikatakan hampir setiap tahun itu meluap juga menjadi berkah bagi warga di Kampung Sepang. Salah satu keberkahannya, karena alirannya sangat membantu menyuburkan ladang pertanian. Warga Sepang sendiri menekuni hari-harinya dengan bekerja menjadi petani. Jika berada disana, hampir pasti tak jauh dari pemukiman akan didapati kebun kelapa dan kakao, sebagai sumber mata pencaharian warga.
Selain hamparan kebun kelapa dan kakao, disepanjang aliran sungai, akan dijumpai kebun-kebun warga yang ditanami jagung, sayur-sayuran, umbi-umbian seperti singkong dan ubi jalar. Hamparan kebun itu, juga terdapat pepohonan hijau yang asri, yang dedaunannya dimanfaatkan untuk kebutuhan pakan ternak, terutama ternak kambing yang sangat lazim dipelihara oleh warga.
Aliran sungai yang meliuk-liuk itu, menjadi pembatas bertemunya dua Desa yang memiliki ikatan kekeluargaan yang erat yakni Desa Lembang-lembang dan Desa Tandassura yang juga bahagian dari wilayah kecamatan Limboro. Disebelah barat, wilayah hasil pemekaran dari kecamatan Tinambung ini berbatasan dengan Kecamatan Banggae Timur Kabupaten Majene. Sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan Desa Lekopadis Kecamatan Tinambung. Dan di sebelah utara berbatasan dengan Desa Mombi Kecamatan Alu.
Di Sepang, Prof Dr KH. Sahabuddin dilahirkan
Tak disangka oleh siapa pun juga, bahwa di Sepang Banu-banua inilah menjadi tempat dilahirkannya ulama besar tanah Mandar yang kelak menjadi salah satu mursyid tarekat Qadiriah. Prof. Dr. KH. Sahabuddin. Ya, tepat 79 tahun silam, beliau memekik tangisan pertamanya.
Sahabuddin kecil lahir di lingkungan keluarga yang religius. Ayahnya bernama Pua Muhammad, seorang Imam kampung yang dikenal warga memiilki pengetahuan agama yang mumpuni. Kala itu ayahnya dipercaya oleh warga mengimami masjid yang kini masih berdiri kokoh di Sepang.
Dulu dan hingga saat ini, Prof. Dr. KH. Sahabuddin, sang ulama kharismatik yang karib disapa “amba” oleh anak-anaknya ini, mendapat tempat khusus di hati orang-orang pada umumnya. Beliau begitu disegani dan dihormati. Diceritakan Muhammad Masyyat, putera bungsu beliau bahwa sewaktu beliau masih hidup, tak ada satu pun anaknya yang berani lewat atau keluar masuk apabila ayahnya tengah duduk di ruang tamu. Anaknya akan memilih keluar melalui pintu lain yaitu pintu dapur.
Prof Dr KH. Sahabuddin adalah pelanjut estafet ajaran tarekat Qadiriah dari Maha guru tarekat Qadiriah di Mandar: Almukarram KH. Muhammad Shaleh yang bergelar Tomatindo di Pambusuang. Prof Dr. KH. Sahabuddin banyak menimba ilmu spiritual (terutama ajaran tarekat Qadiriah) dari sosok ulama kasyaf tersebut.
Di Sulawesi Barat, Jama’ah tarekat Qadiriah memiliki jumlah populasi yang sangat besar. Sejak Al Mukarram KH. Muhammad Shaleh bertolak dari Hijaz (Makkah) dan kembali ke to’dang (tanah Mandar). Beliau selanjutnya setapak demi setapak mengajarkan tarekat Qadiriah kepada warga. Dimulai dari kelompok pengajian yang jumlahnya puluhan orang yang dilangsungkan di rumah beliau. Dan setelah melalui proses perjuangan yang sangat panjang dan tak mengenal lelah. Pun, jumlahnya semakin bertambah. Hingga mencapai puluhan ribu jama’ah yang menyebar di sejumlah daerah, misalnya di Majene, Polewali, Tinambung, Tandung, Renggeang, Matanggnga, Ambopadang, Mapilli, Mambu, Luyo, Limboro, Sepang, Mombi, Peto’osang, Malunda,Mekkatta’, hingga ke Makassar dan Kalimantan. Bersama sejumlah muridnya, termasuk Prof Dr. KH. Sahabuddin Murid yang selalu setia, teguh dan ikhlas membimbing jama’ah dengan menggelar pengajian dari rumah ke rumah.
Tak pelak, Prof Dr. KH. Sahabuddin menjadi murid kesayangan dari KH. Muhammad Shaleh bersama murid-muridnya yang lain. Salah satu yang penulis ketahui adalah KH. Mustafa. KH. Muhammad Shaleh sendiri mewarisi ajaran tarekat Qadiriah dari Ulama tersohor Mekah yaitu Habib Assayyid Alwi Al Maliki Al Hasani Al Makki. Ayahanda dari Habib Assayyid Muhammad Bin Alwi Al Maliki Al Hasani Al Makki, pimpinan majelis Assyofwah. Majelis yang banyak mencetak ulama khos yang melakukan syiar Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah ke penjuru Asia, terutama Asia Tenggara, dan terkhusus lagi di Nusantara.
Prof Dr KH. Sahabuddin, selalu dirindukan sosoknya
Imam besar Masjid Pancasila Universitas Al-Asyariah Mandar, Haji Sulaiman, pernah menuturkan, sebagai bagian dari keluarga besar tarekat Qadiriah di tanah Mandar, dirinya sangat merindukan sosok Prof Dr. KH. Sahabuddin dalam kehidupannya. Kenangan yang tak pernah sekalipun ia lupakan, sewaktu sang guru memintanya untuk mengemban amanah menjaga masjid. Disitu acapkali ia menitikkan air mata karena tak mampu menahan kerinduan akan sosok guru tasawuf yang santun nan bersahaja itu.
“Saya ingat persis waktu beliau berpesan kepada saya dengan sapaan yang lemah lembut, “jagai le’bai masigi kambe’a, (tolong jaga masjid nak ya),” kenang Sulaiman, komentar itu pernah dimuat di Tabloid Radikal, Edisi September 2015, Pojok Annangguru, Hal 6. Radikal adalah media terbitan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Mahasiswa Universitas Al-Asy’ariah Mandar.
Dalam ulasan singkat Tabloid Radikal yang mengangkat judul “ Prof. Dr. KH. Sahabuddin; Pengabdianmu Tak Lekang oleh Waktu”, terdapat pula pengakuan salah seorang pengagum beliau yang menolak dipublikasikan namanya. Dia menceritakan bagaimana perjuangan beliau dalam mensyiarkan ajaran tarekat Qadiriah yang gigih dan tak kenal lelah. Perjuangan dalam membimbing jama’ah acapkali ditempuh dengan jarak ratusan kilometer dengan hanya menunggang kuda bersama istri tercintanya, Hajjah Hajaniah. Sosok perempuan yang tabah dan selalu setia mendampingi kemana pun Prof Dr. KH. Sahabuddin melangkahkan kaki, dalam rangka membimbing ribuan jama’ah untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya melalui ajaran tarekat Qadiriah.
Selanjutnya di catatan itu diceritakan pula, bahwa Prof Dr. KH. Sahabuddin menunggang kuda menapaki perbukitan yang terjal, curam, dan penuh bebatuan di pelosok-pelosok Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar sejak Mamasa resmi berpisah dan menjadi Kabupaten tersendiri). Hal itu misalnya masih bisa kita dapati sampai sekarang, jejak-jejak perjuangan beliau di Desa Ambopadang Kecamatan Tubbi Taramanu, Matangnga Kecamatan Matangnga, dan Desa Sattoko Kecamatan Mapilli. Tak heran hingga sekarang, jama’ahnya memiliki jumlah yang sangat besar di sejumlah titik itu.
Di Tubbi Taramanu misalnya, tepatnya di dusun Patulang Desa Ambopadang. Salah satu jamaah beliau pernah berkisah tentang pengalamannya berjumpa langsung dengan Annangguru KH. Sahabuddin. Sebutlah, Papa Manja. Seorang pengusaha kakao yang terbilang sukses di kampungnya yang pernah berjumpa langsung dengan Prof KH. Sahabuddin semasa hidupnya, memiliki pengalaman yang cukup berkesan dan tak bisa ia lupakan hingga kapan pun.
Diceritakan oleh Papa Manja, bahwa kehidupannya bersama keluarga tergolong biasa-biasa. Tak ada yang istimewa. Ia menjadi petani biasa seperti warga Patulang pada umumnya. Dia mengisahkan bahwa saat awal ingin merintis usahanya, dia mengaku rumahnya pernah dikunjungi Prof Dr KH. Sahabuddin.
"Saat beliau berkunjung, ada sesuatu yang dititip kepada saya. Dan beliau berpesan agar titipan beliau tersebut disimpan baik dan bisa digunakan untuk dipakai untuk merintis usaha dengan tetap menyandarkan keyakinan kepada Tuhan. Haqqul yaqin, seiring waktu berlalu saya dapat menikmati hasilnya seperti anda lihat sekarang ini, " tutur Papa Manja kepada penulis sekitar lima tahun yang lalu saat penulis berkunjung ke rumahnya.Menurut Papa Manja, bahwa titipan dari Prof Dr. KH. Sahabuddin tersebut disimpannya dengan baik dan rapi sampai sekarang.
Kesaksian lain akan karomah Prof Dr KH. Sahabuddin datang dari Zahril Aril , Ketua Gerakan Pemuda Ansor Mamuju Sulbar saat berbincang dengan penulis dalam perjalanan dari Makassar ke Polman. Waktu itu penulis bersama rombongan pengurus Ansor Polewali Mandar menghadiri kegiatan Pra Kongres Gerakan Pemuda Ansor se Indonesia Timur di Asrama Haji Sudiang Makassar.
Zahril bercerita, sewaktu ia hendak melamar istrinya sekarang, dirinya sempat mengalami kesulitan keuangan dan tinggal satu hari lagi acara akad nikahnya akan dilangsungkan. Dengan modal keyakinan Zahril sowan alias mendatangi kediaman tiga ulama khos Sulselbar, yaitu Habib Puang Makka, KH. Sanusi Baco, dan Prof Dr. KH. Sahabuddin. Maksud kedatangannya kepada tiga ulama tersebut ingin meminta uang. Namun tak dinyana, sewaktu bertemu dengan Habib Puang Makka, bukan uang yang diberikan tetapi sorban dari sang Habib. Setelah itu bertemu dengan KH. Sanusi Baco, pun bukan uang yang diberikan, tetapi wejangan pernikahan. Dan terakhir, sowan ke Prof Dr. KH. Sahabuddin. Dan bukan uang pula yang diberikan melainkan amalan khusus untuk mendatangkan rezeki.
Seharian mencari uang, tak ada sepeser pun yang didapatkannya. Hingga tiba waktu azhar Zahril singgah di salah satu masjid di Makassar. Disana dia melangsungkan salat azhar, setelah selesai berdoa, dia pun mengamalkan amalan yang diajarkan oleh Prof Dr. KH. Sahabuddin. Setelah selesai, tiba-tiba saja teman lamanya muncul di masjid itu juga. Dan seperti mengetahui kesulitan yang dihadapi Syahril. Zahril pun menceritakan masalah yang tengah membelitnya itu. Kebetulan temannya itu salah satu keluarga dekat Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo. Pergi beberapa saat, temannya itu datang kembali membawa bingkisan plastik berwarna hitam yang berisi uang Rp. 15 Juta Rupiah. Zahril pun kaget dan sangat bersyukur.
"Ini ada sesuatu dari saya, siapa tahu bisa membantu, ? " kata temannya itu. Saat itu Zahril sangat bersyukur. Zahril kemudian bergegas berangkat ke Mamuju. Tiba di kota Mamuju, dia singgah beberapa saat untuk bertemu teman-teman lamanya. Tak disangka, teman-temannya itu sudah banyak yang jadi pejabat. Iseng-iseng bersilaturrahim, teman-temannya itu tahu bahwa Zahril akan menikah. Tanpa diminta, teman-temannya itu menyodorkan bantuan, dan terkumpul uang hingga Rp 40 Juta yang ditambah dengan uang yang Rp 15 Juta tersebut tadi. Syahril semakin bersyukur, berkat pertemuannya dengan ketiga ulama tadi kesulitan yang membelitnya dapatv teratasi dalam waktu yang relatif singkat. Hanya satu hari. Hal itulah yang dipesankan Zahril waktu itu ke penulis, bahwa apabila hidupmu ingin selamat dan berberkah dunia akhirat, seringlah sowan kepada para ulama.
|