Sulbar.com - Hajatan demokrasi tinggal menunggu waktu. Rakyat Sulawesi Barat akan menjadi saksi sekaligus penentu lahirnya pemimpin baru yang akan membawa provinsi paling muda ini ke arah yang lebih baik. Sumber daya politik para bakal calon massif digerakkan dalam kerangka mengukur sejauh mana tingkat popularitas dan elektabilitas sang bakal calon pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Barat di tahun 2017 mendatang.
Ya, tak bisa dipungkiri, bahwa dalam setiap proses hajatan politik, seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) selalu diwarnai transaksi yang acapkali mengajari warga untuk memilih berdasarkan jumlah nominal uang atau barang yang ditawarkan. Atau populernya: Politik Uang alias money politic.
Money politic menjadi fakta miris di tengah tuntutan terlaksananya penyelenggaran Pilkada yang demokratis untuk memilih pemimpin yang pro rakyat. Praktek money politic menjadi benalu perusak pada batang pohon demokrasi yang ditanam oleh para aktivis pro-demokrasi di masa reformasi saat meruntuhkan rezim pemerintahan orde baru.
Padahal, idealnya, pada Pilkada yang demokratis dan bermartabat rakyat memilih pemimpinnnya berdasarkan hati nurani yang juga tanpa mengenyampingkan kualitas dan intergitas dari calon pemimpin tersebut. Namun jika benalu Praktik Money Politic terus menerus terjadi, maka akibat yang akan ditimbulkan bukan lagi pemimpin yang lahir, tetapi penguasa tiran yang korup.
Masih terekam dalam memori penulis, kekhawatiran Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Barat yang juga ikut prihatin mengenai praktek money politic yang terus menghantui pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Sulawesi Barat. Melalui pernyataannya disalah satu media terkemuka di Sulawesi Barat, dia secara tegas mengemukakan kekhawatirannya atas fenomena tersebut (Kamis/Antara (16/01/2014).
Tanggung Jawab Partai Politik
Harapan penulis sebenarnya tertuju bagi partai politik (parpol) sebagai salah satu pilar demokrasi. Yang salah satu tugas utamanya melakukan pendidikan politik kepada warga. Pendidikan politik menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka meminimalisir berlangsungnya praktek money politik di ruang kehidupan warga.
Saat ini, justru yang terjadi, Parpol malah menyibukkan diri melakukan rekrutmen politik yang mengabaikan kualitas dan integritas sejumlah aktor untuk masuk menjadi pengurus dan calon legislatif di parpol bersangkutan. Kemudian para elit parpol pun terlalu vulgar mempertontonkan ke publik konsolidasi para elitnya tentang bagi-bagi kekuasaan yang justru menjadi tontonan tak mendidik. Disamping fakta memiriskan lainnya, misalnya para pengurus parpol baru aktif menjelang dihelatnya Pilkada atau Pemilu.
Tak heran, dengan kondisi yang serba paradoks tersebut, masyarakat memperlihatkan kemarahannya dengan mengusung bakal calon gubernur melalui jalur independen, yaitu dengan mengumpulkan KTP sebanyak-banyaknya. Parpol pun dianggap tak penting untuk terlibat disitu.
Fenomena anti Parpol kini sudah terjadi di DKI Jakarta dengan munculnya Komunitas “Teman Ahok”. Warga DKI Jakarta yang tergabung dalam Teman Ahok meminta Gubernur Incumbent Bazuki Jhaja Purnama alias ahok untuk “ogah” menggunakan Parpol menjadi kendaraannya di di Pilgub DKI. Apa yang terjadi di DKI Jakarta, bisa juga terjadi di Sulawesi Barat apabila para petinggi Parpol tidak merefleksi diri dan kembali menjalankan tugasnya yaitu menjadi pilar demokrasi yang sesungguhnya, sebagai pengejawantahan demokrasi yang substansial melalui pendidikan politik. Kita tidak berharap pohon demokrasi yang sudah sekian tahun dirawat, disiram dan dipupuk, menjadi layu bahkan kering, tatkala nilai-nilai substansial demokrasi tergerogoti hanya karena sebuah benalu yang dinamakan Money Politic. Pun, para pembaca pasti berharap hal itu tidak terjadi bukan ?
|