Sulbar.com - Betapa mudah menemukan doa yang bertebaran di ragam sosial media. Doa yang bernada rintihan yang seolah isyaratkan betapa perih cobaan yang menghampiri hamba Tuhan yang satu itu. Kendati ada juga doa bernada nyeleneh dan mengundang senyum seperti, "Tuhan jika memang bukan dia jodohku mohon di cek kembali sempat jodohnya salah kirim."
Itulah adab dunia maya. Segala pernak pernik hidup bebas ditampilkan. Entah itu doa, mimpi, harapan, hingga 'status' seseorang dapat diformat sesuai selera, diubah kapan saja dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Sesingkat doa diaminkan oleh sentuhan kelingking. Sosial media menjelma semacam majelis. Majelis yang nihil mursyid dan tanpa mufti. Siapa saja dapat jadi imam. Mungkin tiada lagi yang berniat jadi makmun atau murid. Semua setara.
Doa tidak lagi terasa sakral. Doa tidak lagi menancap dalam sanubari penghayatan. Doa hanya dianggap gelembung kata-kata yang meletus dan menuai seusai dilafalkan. Doa tidak lagi dimaknai sebagai ruang sunyi bagi seorang hambar untuk 'bertemu' Tuhannya.
Ruang sunyi untuk membangun dialektika penghambaan, atau semacam tempat untuk menanam benih kesyukuran pada qalbu dengan harapan dapat menyemai ketulusan, untuk meneguk manisnya anggur kesejatian.
Doa malah cenderung memposisikan Tuhan tak ubahnya sebagai mesin penjawab. Selalu dituntut, bahkan terkadang digugat untuk menjawab semua kecanggihan keluhan, luapan masalah dari serbuan persoalan yang selalu disandarkan pada selera para pendoa.
Doa seolah telah dilokalisir hingga terkadang kehadiranya terasa asing. Terasa hambar. Terkadang sepi ketika tengah bahagia dan mendadak riuh ketika dironrong kalut. Prilaku ibadah yang digolongkan oleh para sufi sebagai bentuk ibadah hayawani.
Prilaku ibadah dengan terminologi surga dan neraka. Semua ditakar berdasarkan amal dan dosa. Mendadak teringat doa Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami yang lebih karib dikenal, Abu Nawas kepada Tuhan kekasih hatinya;
"Wahai Tuhanku. Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat menerima siksa nerakamu. Umurku setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana Aku menanggungnya. HambaMu yang berbuat dosa telah datang kepadaMu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepadaMu. Maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapa Aku mengharap selain kepada Engkau?" Makna keindahan doa itu yang terasa ketat menjaga nilai ketulusan dan terasa apa adanya dengan ungkapan penyerahan secara kaffah. Tiada lagi selera. Tiada lagi kehendak dalam berdoa selain untuk melebur ke dalam riuh ombak untuk segera menyelam ke palung sunyi samudera pengampunNya.
Ketika ketentuan surga, neraka, amal dan dosa tidak lagi membatasi seruan doa. Doa kemudian tidak menjadi jawaban. Bukan pula menjadi sebentuk pertanyaan yang disetir selera yang bisa jadi malah menjauhkan seorang hamba dari segenap ketentuan kasihNya.
Doa sudah 'membakar' para pendoa dalam tungku kesaksian atas cintaNya yang sungguh melampau keinginannya. Lalu untuk apa lagi berdoa? Serentak akan dijawab dengan bibir terkulum manis. Doa adalah jalan lengang bagi hamba untuk menyapa mesra Tuhannya.
Jika begitu, izinkan daku berdoa di majelis mulia-dunia maya. Duhai kekasih, biarlah doa kita melesat memutari semesta. Bersinar serupa gemintang. Berkesiur selembut angin. Mengekal pada dentang waktu yang terhenti. Luruh laksana hujan. Gemuruh serupa ombak yang badai. Tiada terkira. Tiada terperih. Sungguh, daku kasmaran akanMu.
|