Sulbar.com - Kepergian Wakil Bupati Mamasa, Victor Paotonan sejak empat hari yang lalu tidak saja meninggalkan duka yang dalam, tetapi juga menyisakan banyak catatan pilu dari anak Banua Kondo Sapata. Tersebutlah tangis duka itu tumpah dengan begitu mendalam pada warga Mamasa. Itu tampak dari sepanjang jalan Poros Polewali-Mamasa yang terlihat jelas sejumlah bendera Merah Putih yang terpancak di depan rumah warga setelah dinaikkan setengah tiang sebagai penanda duka yang begitu berbelasungkawa.
Seakan menjadi isyarat betapa, kematian adalah keharusan, yang padanya dibutuhkan penghormatan yang tak tanggung-tanggung kepada almarhum Victor Paotonan, selain begitu banyak kutipan dan untaian kalimat duka melalui beragam media jejaring sosial.
Sebut misal, postingan yang diunggah oleh sahabat saya, Joni Daniel tertanggal 5 Juni kemarin yang ditulis panjang di facebooknya. Jonda sapaan karib sahabat saya yang putra Mamasa itu, menulisnya dengan judul Legenda Guru Metafisika-ku, Victor Paotonan, 06 Februari 1966 – 03 Juni 2016.
Dalam tulisan panjang itu Jonda menulis, kemarin sang maestro itu telah pergi diselimuti awan hitam meluruhkan kabutnya di atas Bumi Kondosapata doa para pemuda yang mengitari gerak langkahnya ke alam semesta.
Para pemuda, para politisi, para praktisi, para petani, masyarakatnya, anak-anak sampai orang tua, para sahabat sejatinya di bilik tanah kelahirannya Kabupaten Mamasa yang ia citakan segenap meneteskan airmatanya.
Kibarkan bendera setengah tiang, dalam balut kain hitam bersama rimbunan kerja yang belum usai meski luka perih yang belum pulih. Dan hari-hari yang penuh menguras tulang belulang dan nadinya ia memikul tanggung jawab hakiki, tapi ia selalu menyempatkan diri merenda kotanya dengan rasa cinta yang ia miliki meski hiruk pikuk tak menggeming niatnya bahkan cercaan dan cacian jadi pil pahit yang menyemangati. Pujian ia tepis karena ia bukan pecundang, semua kendaraan ia siapkan bagi siapa saja Sebenarnya apa yang ia cari? Apakah perjalananmu kali ini juga adalah sebuah misteri?
Ia Legenda yang Penuh Teka-teki
Ia dapat bicara dalam dua dimensi bahkan lima dimensi. Sebab metafisika adalah rumahmu. Kadang canda dan tawamu adalah obat penyejuk kala gusar, karena itu kadang aku atau yang lain menyebutmu Macan Podium.
Kadangkala aku benci padamu karena semua kadang engkau anggap mainan. Namun selalu aku, kagum habis-habisan. Sebab engkaulah membawa kami masuk dalam dunia impian.
Kadang demi orang lain ia sanggup menahan lapar dan kesepian. Dan kadang demi orang lain ia sanggup bertindak menyakitkan. Ia mengagungkan persahabatan daripada nilai hitung-hitungan.
Kadang itu pulalah yang membuat orang lain salah mengerti. Diakhir kantukmu yang membingkai potret bumi kelahiranmu.
Aku mengukirmu bagai lukisan Monalisa yang diukir dalam batu alam tak ternilai. Warisan alam para leluhur. Tidurlah yang nyenyak dalam pangkuan Bapa Sorgawi bersama Tuhan Yesus.
Dengan segala maafku dan hormatku saya sebut nama besarmu Victor Paotonan. Tetap hidup menjadi Mamasa. Karena Mamasa adalah dirimu. Dan dirimua adalah Mamasa. Suatu ketika kelak, tidak akan pernah ada yang berjoget diatas juangmu meski kursi emas yang seharusnya jadi milikmu.
Spirit juangmu, akan kami setia kami bawa, menggemuruh dalam jiwa kami, para sahabatmu juga penerusmu. Namun tak perlu sedih, sebab pelangimu akan berpaut di pertapa bumi. Akan selalu meretas tapal batas cita-cita yang telah engkau renda dan pendahulu
Begitu tulis sahabatku, Jonda yang memberikan penanda di akhir catatannya, Mamuju, 05 Juni 2016.
Selamat jalan Victor Paotonan.
|