Sulbar.com - Pagi itu matahari bersinar begitu terang juga indah. Cericit burung di perkampungan yang menawarkan pandangan pada hamparan sawah yang begitu luas. Tidak seperti biasanya, di jam-jam seperti ini para petani telah mulai tampak meniti pematang sawah. Ada yang mengenakan caping dan ada pula yang mengenakan topi yang dibeli di pasar atau pemberian orang kantoran seusai megikuti acara pelatihan. Baju yang digunakanpun tak jarang adalah baju sisa kampanye para calon di Pemilukada ataupun Caleg Partai. Tentu saja warnanya sudah mulai kusam setelah bergumul dengan matahari bahkan hujan dan juga sisa cipratan air dari tanah sawah garapannya.
Kalender menunjuk angka 24 Bulan September 2015, tepat di Hari Kamis pagi, hamparan sawah itu tampak terdiam. Tak ada angin yang berhembus kencang. Petani-petani penggarap itu tampak sibuk mengenakan baju bersih yang tadi malam sudah disetrika oleh anak atau istri mereka yang juga tidak jarang berprofesi sebagai "pandoros". Di pundak mereka bukan lagi cangkul tersampirkan. Sebab itu telah dikandangkan sejak kemarin siang.
Di pundaknya kini tersampir sajadah. Dan dikepalanya ada peci dipadu sarung dan baju yang rapi. Pagi ini mereka bergerak menuju masjid. Disana takbir dan tahmid telah berkumandang dan memanggil. Seruan tentang indahnya kebesaran Tuhan di hari raya kurban.
Di pelataran masjid, tampak gadis-gadis yang pulang lebaran dari kota sibuk berselfi ria. Momotret diri dan suasana masjid. Khatib yang mengenakan jas putih tampak naik mimbar. Orang-orang merapikan diri duduk bersila.
"Hari raya kurban adalah perjalanan memutar jarum jam. Sejarah pengorbanan nabi Ibrahim yang karena mengikuti perintah Tuhan, Beliau menyembelih anaknya sendiri. Oleh Tuhan menggantinya dengan qibas. Lebaran kali ini adalah kembali menafaki jalan Ibrahim. Agar kita paham makna hidup dalam pengorbanan," tutur Afri sang Khatib dari atas mimbar Masjid At Takwa Kediri Wonomulyo.
Ia menyebutkan, pelajaran lain yang bisa diambil dari kisah teladan Nabi Ibrahim adalah, betapa ia mencintai keluarganya. "Beliau amat mencintai keluarganya. Dan beruntung Nabi Ibrahim yang sabar memiliki istri yang juga tabah serta anak yang shaleh yakni Nabi Ismail. Ini adalah cermin kepada kita, bahwa kalau kita menginginkan hidup dua atau tiga bulan, maka sebaiknya kita menanam sayuran, tetapi jika kita ingin hidup tujuh puluh hingga sembilan puluh tahunan, kita harus menanam kelapa. Tetapi kalau kita ingin hidup ratusan bahkan jutaan hingga hidup selamanya-lamanya maka kita harus menanamkan keshalehan kepada anak-anak dan generasi kita. Karena ketika kita mati sekalipun, kita akan tetap hidup dalam doa anak-anak dan generasi yang padanya telah kita tanamkan kashalehan dan kebaikan hidup," urainya dihadapan jamaah shalat Idul Adha yang meluber hingga sisi sayap kanan dan kiri serta pelataran Masjid.
Lebih jauh Afri berulang-ulang menyerukan dari atas mimbar, "salamun ala Ibrahim, keselamatan bagi Nabi Ibrahim dan untuk sampai kepada keselamatan itu, maka sebagai umat Rasullah, mari sama mencontoh dan meneladani kehidupan Nabi Ibrahim yang berkurban demi kepentingan keluarga, agama, umat dan bangsa kita," tandasnya diakhir khutbahnya sebelum masuk ke dalam khutbah keduanya.
Jamaah serius diam dan takzim pula khusyuk. Seperti hamparan sawah-sawah di sekitar Wonomulyo itu yang juga terdiam khusyuk seakan tengah mendengarkan dan mengikuti sahdunya lantunan takbir dan tahmid dari seluruh penjuru.
|