Sulbar.com - Jalan setapak kerap kali aku lalui untuk sampai di kota seberang mengais rejeki dengan berjualan koran di sisi lampu stopan rambu lalulintas.
"Koran... koran... korannya pak, ini baru terbit hari ini".
"Beritanya masih hangat pak".
Lagi-lagi mereka mengacuhkanku dengan menutup kaca mobil seraya tak ingin mendengarkanku menawarkan koran untuknya. Terkadang pula ada yang sampai mengeluarkan kata-kata yang kurang kasar dan menyakitkan. Walaupun kerap kali aku sedih dengan hinaan yang dilontarkan untukku. Namun keinginan dan semangatku tetap saja berkobar.
Sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang anak yang hidup dengan serba kekurangan itulah keluargaku. Untuk makan saja susah apalagi untuk bersekolah. Aku anak paling bungsu dari lima bersaudara. Ke empat saudaraku hanya lulusan Sekolah Dasar, akan tetapi mereka sekarang sudah mencari uang sendiri dengan penghasilan minim dibawah rata-rata. Tinggal aku yang bersekolah. Walaupun bapak dan ibu tidak punya uang menyekolahkanku, tetap saja aku ingin bersekolah. Aku meyakinkan mereka kalau kelak aku bisa merubah hidup menjadi lebih baik.
Mencari uang dari hasil berjualan koran adalah cara yang kulakukan agar tetap bisa membiayai sekolah. Bapak dan ibu sering menyuruhku berhenti sekolah. Katanya sekolah itu habisin uang. Mending uangnya buat makan sehari-hari. Saudara-saudaraku kerap kali menyuruhku untuk berhenti sekolah. Untuk kesekian kalinya aku berceloteh layaknya seorang yang sudah pasti akan sukses. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku.
***
Kami tinggal di rumah kardus yang berukuran kecil di bantaran sungai mati yang telah lama tak dihiraukan. Sebagaimana nasib sungai tak terhiraukan oleh pemerintah yang penuh dengan sampah, warna hitam layaknya comberan dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Mau bagaimana lagi. Bapak dan ibu hanya mampu membeli tanah di bantaran sungai kotor itu. Gubuk kecil dari kardus bekas dirangkai menjadi bangunan layaknya rumah tempat istirahat kala malam tiba.
Tak jarang aku membantu bapak membangun kembali gubuk ketika gubuk kami roboh oleh terpaan hujan yang turun disertai angin kencang.
Rasa sedih semakin menggebu dalam diriku. Ingin rasanya kusulap gubuk kami jadi istana megah presiden. Jika hujan tiba tak roboh lagi.
“Mimpi hanya sekedar mimpi.”
“ Bagaimana bisa kusulap gubuk ini jadi istana megah. Bekerja saja terkadang tidak mendapatkan uang.” ucapku dalam hati.
Pukul 21: 00 tepat aku pulang dari bekerja tiba-tiba kulihat ibu menangis sendirian di dekat gang jalan menuju rumah kami. Dengan sigap aku berlari menghampiri ibu. “Ibu kenapa menangis?” tanyaku kepada ibu.
“Rumah kita nak, rumah kita.” Tangkas ibu
“Ada apa dengan rumah kita bu...?
"Rumah kita diratakan dengan tanah. Digusur nak. Kita tidak punya tempat tinggal sekarang," jawab ibu yang terus saja menangis.
Rasa kesal dalam jiwaku tak lagi tertahankan. Aku berlari menuju gubuk kami diikuti oleh ibu yang terus saja melarangku. Namun tak kuhiraukan. Setibanya di gubuk, kulihat banyak warga yang juga digusur rumahnya menagis ada juga yang kesal dengan mengeluarkan kata-kata makian untuk para pejabat pemerintah yang tak punya hati.
Nasi sudah menjadi bubur. Bagaimana tidak. Gubuk kami telah hancur lalu dibakar oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki hati. Aku,keluarga dan para warga mencari tempat tinggal sementara. Baru saja kami berjalan melewati jalan kota dekat gang kami, ribuan cacian dan makian telah mengerumuni telinga kami. Mereka kira kami akan menumpang di rumahnya. Beberapa kali kukuatkan hati warga kuhibur dengan guyonan, kusampaikan pula agar tidak usah menghiraukan kata-kata yang kurang berkenan dari orang yang tidak memiliki hati.
Di sela perjalanan, tanpa sengaja mataku melihat satu jembatan besar yang di bawahnya ada ruang kosong. Kuhentikan langkah para warga kuajak untuk melihat ruang kosong itu. Syukur alhamdulillah ternyata kolong jembatan itu bisa kami tempati sementara sampai kami semua mendapatkan kembali tempat tinggal. Masing-masing warga membersihkan tempat yang mereka pilih untuk tidur malam ini. Berlapis kardus bekas mereka menidurkan anaknya.
Semua keluargaku juga sudah terlelap, tinggal aku yang belum tidur. Suasana panas dari dalam kolong jembatan membawa kakiku berjalan keluar untuk sekedar mencari angin. Langkahku terhenti ketika kulihat mereka semua yang terlelap dalam tidurnya ditemani bau tak sedap dan gigitan nyamuk.
Kuambil selembar kertas putih dengan pena hitam dari tas kecilku. Kuutarakan semua keluh kesahku diatas kertas putih tanpa noda. Kutagih janji yang lontarkan dengan kata-kata manis darinya. Untuk suara kami mereka bersuara. Sedikitpun keluh kesah kami tak pernah ia rasakan. Sekedar bela sungkawa pun tak pernah terngiang dikuping kami. Mereka terlalu nyaman dengan istana yang megah tanpa memikirkan istana kami yang tebuat dari kardus bekas. Ketika angin dan hujan tiba istana kami roboh seketika. Kami bukan orang bodoh yang diam begitu saja lantaran janji teringkari.