Mengawal gagasan, peristiwa dan informasi Sulawesi Barat [ Beranda ] [ Tentang : Sulbar ] [ Hubungi Kami ] [ Menulislah disini ! ] [ Pedoman Pemberitaan ] [ Maps ]

SulbarDOTcom
Kalindaqdaq (Pantun Mandar) :

"Nadiondoq-i I Cicci Na di damo-damoi Tuo marendeng Diang bappaq dalleq-na."
Diayun puteri kesayangan Dengan belaian kasih sayang Panjang umur Semoga mendapat rezeki

CERPEN
Sampah
SulbarDOTcom - Sampah


 Penulis
: SYUMAN SAEHA
 Senin, 8 Februari 2016 16:50:04  | Dibaca : 2378 kali
 
Sulbar.com - Berita tentang pesta warga kampung sudah santer kemana-mana. Juga sudah sampai ke kampung tetangga. Siang hari anak remaja juga orang dewasa sibuk mempersiapakan segala yang dibutuhkan guna meramaikan pesta.

Malamnya beberapa warga berjaga-jaga di pos ronda. Siapa tahu ada orang asing masuk kampung dan mengacaukan semuanya. Setiap warga laki-laki secara bergantian berjaga. Agar kantuk tak menyerang, mereka memilih main domino, joker, sambung tulang, bridge, halma sampai main catur dan ular tangga.

Dari mereka sering kali terdengar tawa bernada sesumbar dan beberapa ejekan dari yang merasa memenangkan permainan. Dan yang merasa kalah, tetap melanjutkan kendati ditemani senyuman pahit.

"Kalau mau menang dan menutup permainan dengan bangga, maka dibutuhkan strategi yang unik. Seluruh jenis kartu, mulai dari terkecil sampai yang terbesar tidak boleh ada yang lepas dari perhatian. Atau semacam lalai barang sedikitpun. Dan satu lagi, hal yang sangat penting, kita wajib melaksanakan kecurangan-kecurangan demi mencapai target," seru salah satu diantara mereka.

"Kalau hanya mengandalkan kecurangan. Menurut saya itu keliru, sebab kita sedang bermain sambung tulang, bukan main catur ataupun joker," seru yang lainnya ikut menimpali.

"Betul. Itulah enaknya permainan. Kita dapat bersikap jujur pada lawan sekalipun. Domino yang jujur, ular tangga yang tak curang dalam menghitung angka serta halma yang tak pernah mau melangkah  kalau akan melabrak teman ataupun lawan. Apalagi menggunakan cara jual beli nilai seperti bridge".

Begitu yang kusaksikan dialog renyah pula garing dari mereka yang malam itu sungguh tampak asyik dengan permainannya di pos ronda. Ya, warga kampung yang selalu dari dulu dan begitu-begitu saja, menandaskan malamnya dengan permainan ragam jenis di pos ronda.

***

Tiba-tiba dipikiranku melintas satu pengakuan yang ditawarkan oleh, Johan Huizinga dalam tulisannya entah kutemukan dimana. Menyebutkan kurang lebih begini, "pada prinsipnya semua metode atau gaya merupakan unsur permainan yang ludik, entah itu pertandingan atau berupa perang. Sebab di dalamnya ada permainan sungguhan dan permainan yang bermain. Jika suatu permainan tidak lagi mengikuti aturan-aturannya yang dinamis maka itu bukan lagi permainan namanya. Melainkan itu cara baru untuk mempropoganda".

Pos ronda tadinya tempat untuk berjaga-jaga. Itu agar tak ada orang belum dikenal masuk kampung. Apalagi kalau sampai ingin mengacau. Kini jadi ajang permainan serta percakapan panjang lebar. Dan keasyikan itu membuat lengah bahwa hari sudah diambang subuh. Seorang perempuan yang hendak turun dari rumahnya untuk berwudu tak jauh dari pos ronda, tiba-tiba berteriak setelah pintu rumahnya dibuka. Entah ia melihat apa. Namun yang pasti teriakan itu seketika membangunkan beberapa tetangga rumahnya.

Satu persatu pintu rumah warga berderak. Setiap pintu rumah yang terbuka selalu disambung dengan teriakan dari dalam lantaran menemukan sesuatu yang mengejutkan dari balik pintu. Hanya dalam beberapa helaan nafas saja, kampung itu sudah kacau oleh teriakan-teriakan dan lalu lalang beberapa warga yang lain.

"Lihat. Tadi malam orang itu datang lagi. Ini buktinya," sambil tangan kanannya menunjuk sesuatu yang ditemukan persis di depan pintu rumahnya untuk meyakinkan tetangganya.

Tetangga di depan rumahnya juga menemukan sesuatu, "betul, di teras rumah saya juga ada," susul tetangga yang lain.

Hanya dalam hitungan detik. Kampung sudah dikuasai kepanikkan demi kepanikkan yang menggegerkan.

Suasana yang semestinya menjadi tempat khusuk untuk shalat subuh malah menjadi perbincangan soal terka-menerka yang liar. Tak ubahnya suasana pesta dimana kata demi kata mengalir tak berurut. Semua mahir bicara, semua lihai menganalisa soal culas dan curang, juga tentang tuduh menuduh yang kemudiam meningkat jadi suatu perdebatan ringan antar mereka dan akhirnya mengubur secara resmi waktu shalat subuh.

Pos ronda yang sejak pertengahan malam diwarnai permainan kartu dan sering kali ditingkahi percakapan panjang lebar tentang sindir-menyindir sampai pada pelesetan yang menyentil itu bubar seketika. Tak peduli siapa yang akan menang dan siapa yang bakal kalah. Juga tak peduli permainan belun usai dan akan berakhir seperti apa. Siapapun lelaki warga kampung yang tiba giliran menjaga, langsung berhamburan menuju rumah warga dimana teriakan itu memekakkan telinganya.

Hari H pesta warga kampung tinggal menghitung jari, namun bukannya tenang dan damai, malah seperti pasar yang gaduh. Kerukunan yang semula harmonis berganti bisik-bisik. Satu sama lain saling curiga-mencurigai dan semua ini berawal tepat ketika hampir setiap malam warga kampung menemukan sesuatu di depan pintu rumahnya, sebuah benda yang jika disebut paket juga rasanya taklah salah.

Kerukunan antar warga pelan tapi pasti harmonisasinya mulai tergeser, digaruk secara teratur oleh beberapa paket yang hingga hari ini pengirimnya belum juga dapat diketahui dengan jelas siapa dan dari mana. Yang ditemukan begitu saja di depan pintu rumah tepat ketika subuh buta menganga. Apa lagi menjelang pesta warga kampung berlangsung.

***

Sudah menjadi rahasia umum bahkan sampai ke kampung sebelah, mulai anak kecil hingga orang dewasa mengetahui bahwa kampung yang sebentar lagi akan melaksanakan pesta besar itu, nyaris setiap malam juga hampir semua rumah digentayangi sebuah paket berupa bingkisan berupa peket dan itu berlangsung secara teratur serta sangat rapi dalam waktu yang cukup lama. Meski penjagaannya sudah sangat ketat, tapi tak berarti membuat pengirim gelap itu kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugas yang diembannya.

"Pak, tadi malam beberapa rumah warga kembali ada yang mengirimi bungkusan berupa paket. Dan mengingat penjagaan warga yang begitu ketat, rasanya mestahil kalau ada orang luar datang, lalu masuk ke kampung kita ini. Tapi kenyataannya memang begitu, tak seorangpun warga yang tahu pengirim paket misterius itu siapa. Saya malah curiga dan itu sangat mungkin terjadi, bahwa di kampung kita ini ada penyusup, semacam penghianat yang bukan mustahil tujuannya mengacau kampung untuk menggagalkan pesta besar warga ini". ucap seorang istri pada suaminya.

"Bu, Kita mesti bersabar, dan mesti sangat hati-hati dalam memberi tanggapan, sebab sudah banyak hal yang terjadi di kampung kita ini dan kesemuanya justru ada yang menganggapnya hanya sebagai bahan permainan," jawab suaminya. Saat itu tak terasa matahari sudah sedepa meninggalkan puncak pegunungan.

Kampung yang sebentar lagi akan menggelar sebuah pesta akbar, namun akhir-akhir ini sering kali digantayangi titipan berupa paket hampir terjadi di semua rumah warga, yang tak lain isinya hanya berupa beras atau gula, kadang juga berupa uang 100 ribu, kain bahan tenun, baju serta sarung. Hal-hal demikian inilah kerap dikirim orang secara misterius di depan pintu rumah warga. Begitulah yang kudengar dari beberap warga yang kutemui setiap kalinya.

***

Hari ini aku berada diantara warga kampung yang sebentar lagi akan menghelat sebuah pesta akbar. Aku semakin memahami arti perjalanan hidup seiring berbenturan dan mengganjal kehidupan sekian banyak warga di kampung ini. Meskipun semua yang datang merupakan sebagai pemberian atau semacam hadiah. Namun nasib mereka dijadikan permainan bulan-bulanan.

Entah warga kampung sendiri yang menjadikan hal demikian ini sebagai pilihan hidupnya. Atau lantaran terjepit, lalu kemudian terpaksa menerima suasana penuh kepalsuan ini. Tapi bagaimanapun mereka, sebagai orang kecil, mereka harus bangun dari mimpi buruk ini dan menggenggam kehidupannya sendiri.

Akhirnya penantian yang melelahkan datang juga, sebuah pesta yang mengandung banyak teka-teki. Warga kampung larut dalam kegembiraan. Mereka bersuka ria, namun jauh di lubuk hati mereka tak berhasil menolak kecemasan yang gelisah di hati masing-masing.

Entah seperti apa pesta warga kampung itu berlangsung, aku tak tau pasti. Sebab aku sendiri dirajam serpihan kantuk yang berkumpul sekian banyak saat turut serta bersama warga meronda.

Dan betapa aku terkejut teramat sangat. Saat bangun dari tidur lebih panjang dari pesta warga kampung mengalir. Kudapati warga seperti dalam pengaruh hipnotis, termangu duduk diantara gundukan sampah yang berserahkan dimana-mana.

Mereka baru sadar bahwa pesta warga kampung yang baru saja usai dirayakan selama sehari semalam itu, sungguh diluar dugaan kalau akan menyisakan ceceran sampah sekian banyak dan menguasai kampung.

Apa saja yang dialami orang-orang kampung ketika berada dalam pesta? Mengapa mendadak sekian banyak sampah bermunculan begitu pesta usai? Barangkali ini terjadi akibat banyaknya paket yang dikirim secara misterius ke rumah-rumah warga kemarin. Sebab mengingat sampah demikian banyak berserahkan diseluruh kampung, sangat tidak masuk akal jika semua itu murni dari masyarakat. Atau  malah justru akulah yang berlebihan dalam melihat peristiwa ini.

Tapi apapun itu, beginilah hari ini. Inilah sesungguhnya yang terjadi. Begitu pesta usai, maka yang lahir kemudian adalah sampah di kampung terpencil terlebih lagi tempat perkampungan dipusatkan.

"Bagaimana kita mengatasi ini semua?" tanya seorang warga pada yang lain.

"Entahlah. Sebab hampir segala tempat yang ada di kampung kita ini telah terisi oleh sampah," jawab temannya.

Semua yang mendengar jawaban itu mengangguk tanda mengerti.

"Bagaimana tidak, sebab sampah itu sendiri datang dari sebuah pesta yang sangat besar dan ramai. Yakni pesta warga kampung yang berarti semua kampung di wilayah ini turut merayakan," ucap seorang lelaki yang bertubuh tipis yang baru saja bergabung dengan warga lain.

Sedang seorang perempuan yang bersamanya berkata, "namanya juga pesta warga kampung, tentu saja semua kampung melaksanakan. Tapi bila dibanding lebaran, sampah yang ada tidak sebanyak ini".

Mendengar itu, yang lain ikut menimpali, "hitungannya sudah sangat jelas, mengapa sampah lebaran tidak sebanyak yang ditimbulkan pesta warga kampung. Pertama, lebaran di wilayah kita sudah sekian tahun tidak bersamaan, malah biasa terjadi sampai lima kali. Contoh, hari ini lebaran kampung tengah, besok kampung barat, lusa lebaran lagi kampung selatan, berikutnya lebaran kampung timur menyusul kampung utara. Kedua, saya rasa ini kunci utama mengapa sampah begitu banyak di pesta warga kampung, sebab jauh hari sebelum hari H hampir setiap malam serta hampir semua rumah ada yang mengirim bungkusan berupa paket yang isinya amat beragam itu dan semua itu terjadi dalam waktu yang tidak singkat, malah terkesan lama. Sementara di hari lebaran hanya mengandalkan zakat, itupun arus alirnya tak menentu".

Kebenaran dari mereka bicarakan begitu terasa, dan apapun tanggapannya itu semata atas dasar terhadap apa yang mereka lihat dan yang mereka alami serta mereka rasakan. Sebab merekalah yang menjalani pesta warga kampung selama 24 jam, serta mereka juga yang menerima bungkusan. Bila disebut paket juga tak salah, tak kalah pentingnya, mereka yang melahirkan sampah setelah pesta usai.

Tapi apakah yang dialami hari ini, juga sempat terpikirkan saat pesta berlangsung? Bahwasanya kalau lepas kontrol dan tidak cermat terhadap pola permainan, justru akan mengunyah seluruh isi hati dan kulitnya. Sebagaimana yang lain akan menjadi sampah, lalu kita campakkan kesuatu tempat secara asal-asalan yang sesungguhnya bukan tong dari sampah itu sendiri.

Kesadaran untuk tidak menyebutnya penyesalan selalu menyusul tiap langkah kita, ia tidak pernah mau mendahului sebab kesenangan sejenak hati selalu memanggil-manggil juga lebih menggoda. Di sinilah pentingnya sebagaimana alat meneropong untuk membuka mata selebarnya, mengajak akal lebih peduli terhadap nurani, guna memberi kepastian terhadap pilihan jalan yang hendak ditempuh, jangan sampai gelombang demi gelombang irama sama beratnya tindak meragui.

Dari hari ke hari setiap warga kampung memutar otak, cara apa yang paling jitu mengatasi sampah, sebab jika tidak ditangani secara cepat dan tepat, kehidupan manusia pasti akan terancam. Bagaimana mungkin dapat membangun kwalitas bila hidup diapit oleh gundukan sampah. Sebab setiap udara yang dihirup mengidap banyak bakteri yang mematikan.

Sekalipun demikian, juga bukan hal mudah untuk melenyapakannya. Sebab selain jumlahnya dominan juga menguasai kampung, tak semua warga mau berpikir kearah sana. Disamping semua tong sampah juga sudah penuh. Pilihan terakhir untuk dapat membersihkan kampung, setidaknya mengurangi dari bau busuknya, adalah membuangnya ke laut atau ke gunung hutan. Dan pilihan yang tepat dari keduanya adalah gunung hutan. Sebab jika sampah dibuang ke laut akan mengakibatkan suatu volusi yang tak lain adalah pencemaran lingkungan. Sekaligus akan mengancam kehidupan seluruh penghuni laut.

Ramai-ramai warga mengumpul. Sampah yang berserahkan di kampung-kampung lalu membuangnya, karna semangat warga yang demikian tinggi, hanya dalam waktu yang tidak begitu lama semua sampah sudah ada di gunung dan hutan. Kampung yang tadinya sesak oleh sampah kini pelan bersih dan rapi kembali. Semua warga sudah dapat bernafas dengan lega dan dapat tidur di rumahnya dengan nyenyak.  Tidak ada lagi yang menghimpit pikiran saban hari. Semua kehidupan berjalan normal. Sama persis yang diharapkan oleh warga.

***

Namun diluar dugaan warga. Di suatu hari, saat hujan turun deras sekali mengguyur seluruh kampung, gunung serta lautan, hujan turun tanpa henti dan sangat lebat, semua warga tidak berani kemana-mana. Tak satupun yang berani keluar rumah. Mereka berjaga-jaga. Takut banjir melanda. Tak henti-hentinya mereka berdoa agar hujan tak membawa banjir.

Setelah satu hari satu malam, hujan akhirnya berhenti. Dan betapa sangat mengujutkan, pagi harinya semua sampah yang sudah di gunung hutan beberapa hari lalu kini kembali berserahkan di kampung-kampung. Sampa itu dibawa arus hujan yang mengalir dari gunung.

Untuk kali yang kedua, warga kembali dirisaukan oleh sampah, setelah beberapa hari bernafas lega, tetapi kali ini, meski harus berhadapan dengan resiko yang sangat dipahami, tidak ada jalan keluar selain memilih laut untuk tempat pembuangan sampah. Bergegas kembali warga mengumpulkan sampah yang berceceran diseluruh kampung, kali ini lebih gesit dari yang sebelumnya.  Beberapa hari saja, semua sampah telah ludes diangkut perahu nelayan lalu dibuang ke laut lepas.

Lima hari kemudian laut bergelora gelombang mempermainkan airnya, hal tak terduga kembali terjadi, sekian kubik sampah yang sudah diangkut perahu nelayan ke laut lepas sebanyak itu pula ombak mengaraknya kembali. Ombak datang dan pergi dengan meninggalkan ceceran sampah di bibir pantai, begitu terus langsung hingga semua sampah yang mengapung di laut beberapa hari lalu, seluruhnya sudah sampai di pantai.

Laut yang tadinya dapat dinikmati serta tembus pandang dari daratan, kini terhalang oleh tumpukkan sampah yang membentang sepanjang pantai seperti gunung.

Bau busuk menyengat hidung, yang berangkat dari tumpukkan sampah diantar oleh angin laut menuju kampung-kampung semakin membuat warga kampung blingsatan. Ingin rasanya mengungsi, meninggalkan kampung, tapi mau kemana. Sebab semua kampung juga begitu.

Tepat tengah hari, matahari bersinar terik sekali hingga sampah meninggalkan kelembabannya dan menggantinya dengan kering, sementara sore harinya, setiap warga mulai dirisaukan gerak awan yang mengepul dipermukaan langit.

Keresahan warga itu bukan tanpa alasan, sebab terbukti ketika setengah tugas dewi malam berlalu, awan yang mengepul sejak tadi sore melahirkan angin kencang sekali. Amuk badai di laut malam itu menerjang daratan. Sampah yang semula menggunung sepanjang pantai diterjang habis-habisan, meski tak sama persis ketika ombak mengantarnya.

Begitulah cara angin membawa sampah pergi meninggalkan pantai, lalu berseliweran menyeruak ke kampung-kampung, menyelinap malu-malu diantara rumah-rumah penduduk.

Entah kantuk apa yang memasung para warga hingga begitu tak menyadari bahwa baru saja kehidupan mereka terancam oleh amuk terjang badai yang sangat dahsyat. Mereka terpedaya oleh suatu lelap sepanjang malam. Dan paginya mereka kembali terpaksa menganga tanpa suara di pintu serta jendela rumahnya. Mereka kembali terperangah oleh hal yang sama setelah menyaksikan sejauh permukaan tanah telah berselimut sampah bahkan dinding dan atap serta bagian luar rumah lainnya ikut dipenuhi sampah.

Seluruh masyarakat sudah kehabisan akal. Cara apa lagi mesti ditempuh guna menyingkirkan sampah demikian banyak itu, sebab diangkat ke gunung hutan tak berhasil. Diarak ke laut juga gagal total. Membawa ke langit sangat tidak mungkin, sebab tidak ada alat dapat digunakan untuk menerbangkan. Mau digusur ke perut bumi, lebih lagi hal kosong. Lantaran sudah dihuni bahkan sesak oleh manusia. Tanah mana lagi dapat digali untuk mengubur sampah sedemikian banyak seperti itu.

"Kampung kita saat ini lebih tepat disebut kampung sampah. Coba lihat, dimana-mana semua ada sampah," kata seorang warga kepada tetangganya yang sementara duduk diteras rumahnya.

"Betul. Tak cukup hanya tempat terbuka, di tempat tertutup pun juga ada sampah, malah gentayangan ke mana-mana. Kemarin lalu saja, waktu ramai-ramai kita gusur ke gunung, sampah yang baru beberapa hari tinggal disana eh, tahunya malah kembali lagi bersama air besar. Bahkan, konon dari beberapa warga kampung sebelah, sampah ini kembali setelah berhasil membunuh sepuasnya pohon besar di hutan sana," timpal warga lainnya, dari atas teras rumah panggungnya yang bersisian.

Tetangga depan rumah juga ikut ambil bagian setelah melarutkan perhatian, "memang, kenyataannya demikian. Sebab tidak masuk akal kalau sampah yang sudah terkurung di gunung dan hutan sana dapat kembali kesini sekiranya pohon-pohon besar itu belum tewas".

Seorang warga yang hendak ke pantai membuang hajat sejak tadi berhenti dan mendengar pembicaraan antar warga dari teras ke teras rumah itu lalu berkata, "sebenarnya yang terjadi di gunung dan hutan kemarin lalu itu, tidak jauh beda prosesnya dengan di laut kemarin. Hanya motifnya saja yang sedikit selisih. Sebab di gunung dan hutan, sampah kembali ke kampung setelah melenyapkan banyak pohon besar. Sementara kalau di laut, gelombang badai mengamuk atas perintah penguasanya. Disebabkan, menurut beberapa mitos dan itu dipercaya tidak sedikit sarjana serta ahli kelautan diberbagai kampung dalam wilayah ini, bahwa seluruh penghuni laut merasa direndahkan oleh sebab tempat tinggalnya dijadikan pembuangan sampah. Dan celakanya, rumpong kita sebagai nelayan juga ikut ditebas, ikut melayang sebagai korban".

Aku yang tak jauh dari mereka, menyimak dengan sangat nikmatnya perbincangan empat warga yang amat jujur serta polos itu. Kiranya kalau boleh berlega hati, sesungguhnya kesadaran begitu sudah cukup lama mereka tanam dalam hati. Hanya saja setiap kesempatan mungkin selalu bicara lain.

Seperti yang kita temui hari ini, mereka cukup sabar dan tabah serta berusaha tetap tegar menjalani hidup meski sesungguhnya mereka sakit teramat parah. Bagaimana tidak, dokter siapa di rumah sakit ini yang tidak melarang keras sampah berserahkan di kampung dan menjadi udara kehidupan setiap orang. Manusia siapa di muka bumi ini tidak sakit dan sanggup bertahan menikmati hidup layak ketika sampah menjeratnya sepanjang usia?.

Berhari-hari sampai berminggu-minggu seluruh warga kampung peras keringat memutar otak, mencari cara apa sebaiknya yang harus ditempuh guna mengatasi gangguan sampah sedemikian banyak dan menguasai kampung ini. Namun semua cara yang baru ditemukan tak ubahnya lorong gelap yang ujungnya dihadang jurang, semua jalan sudah buntu. Setiap cara gelap gulita, sedikitpun titik terang tak ditemukan.

Hingga pada suatu hari, entah berasal dari mana dan mulai dari siapa warga kampung bergotong royong, bahu membahu, ramai-ramai mengangkat sampah yang berserahkan di kampung-kampung dan membawanya ke sebuah gedung mewah dan besar. Hanya dalam hitungan menit saja, sampah yang dilahirkan pesta warga kampung seketika pindah tempat. Yang semula berserahkan di kampung-kampung, kini telah berada dalam gedung terbesar serta termewah di kampung itu.

Dan anehnya, gedung itu seperti keramat dan memiliki banyak mukjizat, sebab setiap sampah yang dibuang masuk oleh warga, tidak satupun yang menjadi tumpukkan. Begitu menyentuh lantai atau dinding, sampah satu persatu meleleh dan langsung menyatu dengan ruangan gedung.

Peristiwa unik itu tentu saja tak satupun yang luput dari perhatian masyarakat. Rasa heran serta penasaran mulai mematuk kepala mereka. Hingga pembuangan sampah berikutnya dipilih gedung yang lain. Namun gedung apapun yang mereka tuju sebagai pembuangan sampah tetap hasilnya sama. Sampah yang dilahirkan selama satu hari satu malam oleh pesta warga kampung asal dibuang ke gedung.

Maka gedung apapun serta sampah apapun itu, pasti seketika meleleh dan menyatu begitu menyentuh lantai atau dindingnya. Persis serupa cat dengan tembok. Setidaknya begitulah yang sempat kudengar dari beberapa warga di kampung ini.

Balanipa, Maret 2011
 
 
Tentang Penulis
Penulis Nama : SYUMAN SAEHA

Lahir di Campalagian, 17 Agustus 1975, kini beralamat di Bala Kecamatan Balanipa Polman dan tercatat sebagai Ketua Teater Palatto sejak 2003 hingga saat ini


ARTIKEL TERKAIT
 
KOMENTAR
 
Tulis Komentar
Nama :
Email :
URL :
Komentar :
   
   
   
     
    Catatan :
No Ads, No Spam, No Flood please !
Mohon tidak menulis iklan, spamming dan sejenisnya.
 MAIN MENU
> Home
> How to go to SULBAR
v Accomodation :
   - Hotel
   - Rumah Makan (Restaurant)
> Obyek Wisata (Destination)
> Kalender Wisata (Event Calendar)
> Directory
> Peluang Investasi (Investment)
> Perpustakaan Online (Library)
v Pemerintahan (Gov) :
   - Aparatur Pemerintah (Gov Officer)
   - UMKM / UKM


 

 

Email : info [at] sulbar.com | Email Redaksi : redaksi [at] sulbar.com

Situs ini merupakan situs berita online independen seputar wilayah Sulawesi Barat
This site is an independent online news sites around the area of West Sulawesi

copyright © 2004 - 2023 SulbarDOTcom - http://www.sulbar.com/

Online sejak 16-okt-2004

Saat ini orang Online.
Jumlah pengunjung : 2,511,394

web server monitoring service RSS