Sulbar.com - Praktek-praktek menggelorakan perubahan dengan cara-cara romantika mahasiswa 98 agaknya perlu untuk di transformasikan mengikuti perubahan zaman. Berkarya, dan berkontribusi melalui pengabdian kepada masyarakat adalah salah satu cara dalam mentransformasikan perjuangan mahasiswa era modern.
Pemuda adalah salah satu penduduk terbanyak di Indonesia dengan presentasi setengah dari populasi penduduk bangsa Indonesia. Dan sebagian dari populasi pemuda yang ada adalah mereka yang menyandang status sebagai mahasiswa. Tentu ini adalah kabar gembira untuk kita semua, tidak cuma kulit manggis yang ada ekstraknya, tetapi pemuda ternyata juga mahasiswa.
Mengapa ini menjadi kabar “gembira”?. Ditilik dari statusnya saja, “mahasiswa” menyandang status “maha”, sebuah kata dari simbolisasi kebesaran yang di sandang di dunia ini. Status maha tersebut mempunyai hubungan dengan pengharapan akan sebuah kontribusi dalam kemajuan dan perubahan bangsa indonesia.
Sejarah paling fenomenal di negeri ini pernah ditorehkan mereka yang menyandang status sebagai mahasiswa. Rezim yang bercokol selama 32 tahun pun tumbang tak berdaya melalui mekanisme gerakan dramatis yang bernamakan Reformasi. Itu semua tak bisa kita lepaskan dari kontribusi “mereka” yang berstatus sebagai Mahasiswa.
Tahun 2015 yang lalu Indonesia telah memasuki era baru bernama Masyarakat Ekonomi Asean, dimana kita bangsa Indonesia di tuntut untuk dapat bersaing dengan berbagai negara-negara di kawasan asia tenggara. Sejarah MEA dimulai pada tahun 1997 tepatnya dalam Asean Summit yang diadakan di Kuala Lumpur, para kepala negara Asean menyepakati Asean Vision 2020 yaitu mewujudkan kawasan yang stabil dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang merata.
Dari sinilah muncul ide pembentukan komunitas Asean yang memiliki tiga pilar utama yaitu: (1) Asean Security Community, (2) Asean Economic Community, (3) Asean Socio Cultural Community. Komunitas ini pada awalnya akan diterapkan secara penuh pada tahun 2020, namun dipercepat menjadi tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan dari pemimpin negara-negara anggota Asean. Hal ini pun juga disesuaikan dengan perkembangan globalisasi internasional yang menuntut Asean untuk lebih kompetitif lagi.
Sebagai bagian dari salah satu pilar komunitas ini, MEA sendiri merupakan pondasi yang diharapkan dapat memperkuat dan memaksimalkan taraf hidup masyarakat kawasan Asean di berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana bangsa ini bisa memaksimalkan dan memanfaatkan sebuah momentum ke arah yang lebih baik lagi kedepannya.
Perlu peran aktif dari semua pihak, untuk menghadapi era MEA. Pemerintah, masyarakat, tokoh masyarakat, pemuda, hingga mahasiswa harus bersatu untuk melakukan kesadaran dan melakukan berbagai upaya bersama untuk membangun bangsa, agar siap bersaing dalam AEC kedepannya. Meningkatkan daya saing ini dapat di lakukan dengan berbagai cara, mulai dari pendidikan, pelatihan keterampilan, dan lain sebagainya.
Teruntuk mahasiswa sudah waktunya untuk turut berperan aktif dan kreatif membanggakan bangsa Indonesia di kancah internasional. Sudah saatnyalah mahasiswa meninggalkan cara-cara perjuangan yang tradisional macam aksi jalanan. Bergerak tidaklah melulu berbicara mengenai demonstrasi, dan aksi jalanan yang terkadang berujung anarkis destruktif.
Mahasiswa sesuai harapan masyarakat sebagai seorang intelektual muda sudah semestinya bergerak di salah satu sektor gerakan sosial secara kreatif. Praktek-praktek menggelorakan perubahan dengan cara-cara romantika mahasiswa 98 agaknya perlu untuk ditransformasikan mengikuti perubahan zaman.
Berkarya, dan berkontribusi melalui pengabdian kepada masyarakat adalah salah satu cara dalam mentransformasikan perjuangan mahasiswa era modern. Bukan saatnya lagi mahasiswa untuk terlalu heboh kegirangan ala striptis bayaran dalam menyikapi berbagai bentuk persoalan.
Mungkin zaman dahulu pergerakan memang dibutuhkan untuk lantang bersuara di depan masa jalanan hingga rela menggembel berhari-hari macam genderuwo yang tidak mandi tuju turunan sampai tercium bau naudzubillah, demi mencari perubahan berujung reformasi perubahan. Tidak perlu anti dan gengsi untuk menerima saran yang baik dari para pejabat maupun birokrat yang memang terkadang ketus, congkak dan sinis dalam menegur arah pergerakan mahasiswa yang mulai mengindikasikan kesia-siaan belaka atau bahkan pembongkaran borok tak terekspose di institusinya sendiri.
Karena memang pejabat maupun birokrat secara psikologis berada dalam kedudukan yang memang harus “sok tau” manakala mahasiswanya mulai berekasi dalam satu barisan aksi demonstrasi, guna menghindari ancaman di salahkan maupun kiriman “surat cinta” dari Bareskrim dan KPK hingga mencoreng nama institusi.
Romantika perjuangan mahasiswa di era moderen ini adalah sebuah cita-cita yang harus segera kita realisasikan bersama sebagai mahasiswa, karena sekali lagi mahasiswa adalah kelompok terdidik bukannya “agen demonstrasi semata”.
Jangan ada lagi pelecehan yang di lakukan negara tetangga macam Malysia, Singapura, maupun Australia yang diakibatkan karena, rendahnya mutu kemampuan sumber daya manusia negeri kita Indonesia ini. Perjuangan dengan cara-cara menebar manfaat melalui pelatihan, pendidikan, maupun pengabdian kepada masyarakat perlu digalakkan. Bangun dan bergerak untuk tidak apatis terhadap permasalahan bangsa Indonesia melalui sebuah karya, prestasi, dan pendidikan.
Karena hakikat pendidikan itu, tidak cukup mengajarkan kita untuk harus menghormati perbedaan, tanpa benar-benar tau mengapa kita harus menjunjung tinggi, dan mengkolaborasikan keindahan di dalam perbedaan yang ada. Pendidikan tidak mengajarkan manusia untuk menjadi seorang robot, namun menjadi manusia yang tau akan mimpi-mimpinya dan mau untuk memperjuangkannya. Pendidikan bukanlan sumber ketakutan dan tekanan hingga mematikan imajinasi anak, namun dia adalah perantara dan simbol kebangkitan suatu peradaban.
Teruntuk mahasiswa hari ini “Jangan cuma berteriak untuk pro sebuah kemajuan” tapi tak mau tangan kotor dengan proses perubahan. Perubahan tak didapat dengan pengharapan mencela sebuah proses tapi perubahan akan di nikmati ketika kita berada dan berkontribusi dalam perubahan itu sendiri.
|