Mengawal gagasan, peristiwa dan informasi Sulawesi Barat [ Beranda ] [ Tentang : Sulbar ] [ Hubungi Kami ] [ Menulislah disini ! ] [ Pedoman Pemberitaan ] [ Maps ]

SulbarDOTcom
Kalindaqdaq (Pantun Mandar) :

"Na tama di Balanipa, maindang kedo puang, naupokedoi naung molimbo limbo"
Saya akan ke Balanipa, meminjam/memeperhatikan tegur sapa yang sopan, gerak langkah yang santun, demi kucontohi, kuikuti untuk menghadiri acara-acara resmi

ULASAN
Tui-tuing, Mantra dan Mitologi Pelaut Mandar
SulbarDOTcom - Tui-tuing, Mantra dan Mitologi Pelaut Mandar


 Penulis
: NASRUL MASSE
 Jumat, 27 Mei 2016 10:12:38  | Dibaca : 5392 kali
 
Sulbar.com - Tradisi merupakan kebiasaan yang dihasilkan oleh sekelompok masyarakat yang diyakini keberadaannya akan membawa maslahah. Hal ini pula yang melekat pada para pelaut Mandar yang hingga saat ini juga masih memeraktekkan banyak tradisi yang menyangkut laut. Salah satu bentuk kepercayaan pada tradisi itu dapat diamati pada beragam metode ritual yang bersifat supranatural dalam penangkapan terbang (baca:tui-tuing).

Tradisi leluhur atau yang dikenal sebagai mappeussul (baca: ritual) biasanya mereka lakukan sejak sebelum berangkat hingga berada di laut. Tradisi ini dilakukan utamanya karena mereka meyakini betul bahwa di laut begitu banyak hal yang sakral mistik pula berada di luar kendali akal pikiran mereka.

Selain tradisi leluhur Mandar di laut itu bisa dimaknai secara filosofis juga boleh jadi, terlahir dari sebuah kesadaran bahwa terdapat hubungan yang mengkristal dan tak boleh dipisahkan antara sang pencipta dengan makhluk ciptaannya.

Demikian pula halnya dengan ikan tui-tuing, ikan yang menjadi salah satu ikon Sulawesi Barat dan  dikenal sebagai ikan yang unik, sekaligus menjadi ikan yang dijadikan salah satu andalan wisata kuliner. Menjadi kebanggaan bahkan identitas kedaerahan manusia Mandar di pesisiran. Sejak dulu, tui-tuing ditangkap sebagai salah satu objek mata pencaharian pada sebagian masyarakat Mandar.

Selain menangkap ikan tui-tuing, para nelayan Mandar juga, pada waktu-waktu dan musim tertentu sengaja melaut untuk mencari telur tui-tuing atau yang dikenal sebagai Maotto. Akan tetapi, dari sekian banyak nelayan yang Mandar, daerah wilayah Majene-lah yang paling dikenal sebagai masyarakat nelayan penghasil ikan tui-tuing ini. Hal itu bileh jadi, dikarenakan wilayah Majene termasuk wilayah strategis yang padanya terdapat banyak populasi ikan tui-tuing.

Ditambah lagi dengan adanya lokasi wisata kuliner warung yang secara khusus menawarkan suguhan tui-tuing plus jepa (baca: olahan makanan ampas singkong) di wilayah pesisir Somba Kecamatan Sendana, yang tentu saja tempat ini sudah dikenal luas oleh masyarakat dari beberapa penjuru Sulawesi.

Jauh sebelum tui-tuing dikenal kalangan masyarakat tentang kelezatan dan keunikannya, perlu pula diketahui, para pelaut Mandar tidak hanya sekedar melaut dan mencari ikan, akan tetapi mereka juga mempunyai tradisi yang lahir dari sebuah pengalaman melaut, mulai dari tradisi pengetahuan mantra, ilmu perbintangan, ilmu kelautan serta ilmu yang menyangkut tentang hal yang dianggap mistik bahkan mitologi.

Mantra Memanggil Tui-tuing

Salah satu ciri khas masyarakat Sulawesi Barat khusunya masyarakat Mandar itu dapat ditandai dengan masih terjaganya budaya dan tradisi nenek moyang mereka yang ditandai dengan kentalnya kepercayaan kepada hal-hal yang mistik yang sampai saat ini masih diyakini merupakan sesuatu yang sangat sakral.

Paissangang (baca:mantra) dalam melakukan aktifitas menangkap tui-tuing bagi nelayan Mandar merupakan prosesi wajib yang dianggap sebagai salah satu sarana pendukung untuk mendapatkan hasil yang banyak.

Untuk memancing ikan terbang misalnya, para nelayan mandar beramai-ramai masuk kedalam buaro (bubu), yang menurut masyarakat Mandar, ikan berukuran kecil yang bisa terbang sampai ratusan meter tersebut harus diberi semangat dengan kata-kata khusus. Anehnya, kata-kata khusus yang dijadikan Mantra tersebut terdiri dari kata-kata yang berbau porno.

Bila dicermati, mantra tersebut identik dengan seruan penyemangat tui-tuing untuk melakukan hubungan seks. Sedang buaro sebagai alat tangkap digambarkan sebagai sebuah gendang dimajinasikan sebagai alat kelamin perempuan dan tui-tuing dimajinasikan sebagai Maraqdia (Raja).

Sebut misal penggalan mantra berikut ini, "Mai nasammoo sirumung, dinimi tuu ganrammu nitannang-gasami tama ganrang sossorammu daeng, irappang bulu ipui butir, itomaressa malolo".

Penggalan contoh mantra diatas memperjelas bahwa mantra-mantra yang digunakan dalam menangkap tui-tuing bagi nelayan Mandar menggunakan kata-kata porno dan seruan-seruan yang berbau seksual.
Pertanyaannya kemudian, mengapa harus kata-kata porno dan seruan untuk melakukan hubungan seks. Apakah tui-tuing merupakan jenis ikan yang gila seks? Entahlah.

Yang pasti, bahwa sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi tradisi turun temurun, tentu memiliki alasan yang menjadi latar belakang kemunculannya. Begitupun dengan munculnya mantra memanggil tui-tuing bagi masyarakat Mandar. Setelah penulis melakukan observasi ditemukan bahwa, kata-kata porno tersebut berlatar belakang pada mitos yang berkembang dalam masyarakat Mandar tentang awal mula adanya tui-tuing.

Konon, tui-tuing pada awalnya adalah seekor lebah. Dalam mitos ini diceritakan Putri Lebah yang cantik terbang ke laut membawa rasa sakit hatinya karena gagal dalam bercinta. Dilaut lepas putri lebah itu kemudian diambil oleh raja ikan dan dijadikan inteligen atau agen rahasia karena dia bisa terbang. Karena keahliannya, putri lebah menjadi aparat istimewa dan mendapat perhatian khusus dari raja ikan. Lambat laun, Putri Lebah itu kemudian berubah menjadi seekor ikan terbang: tui-tuing.

Cerita ini sangat populer dalam masyarakat Mandar, terutama masyarakat nelayan, lebih khusus lagi nelayan ikan terbang. Hal ini sejurus dengan yang pernah dikisahkan, Drs. Abdul Muis Mandra dalam buku ditirakaqna alang.

Dengan cerita di atas, sangatlah masuk akal bila akhirnya nelayan Mandar di masa lampau menjadikan seruan-seruan untuk melakukan hubungan seksual sebagai mantra dalam menangkap tui-tuing karena menganggap tui-tuing yang pada awalnya adalah Putri Lebah merupakan sosok yang haus akan seks karena kegagalannya dalam bercinta. Tetapi sebagai mitos, ini hanyalah sebuah cerita yang dipercayai oleh banyak masyarakat pesisir Mandar. Tentang kebenarannya Wallahu alam.

Demikianlah, para pelaut yang ada di Mandar, bukan hanya menghasilkan Lopi Sandeq yang sampai saat ini sudah dikenal oleh masyarakat kalangan luas dan menjadi ikon budaya. Tetapi masih banyak hal yang perlu  digali dan ketahui bentuk- bentuk tradisi yang telah dilahirkan para pelaut kita hingga saat ini. Alhasil, salam sawi lopi.
 
Tag : majene
 
Tentang Penulis
Penulis Nama : NASRUL MASSE

Selain aktif sebagai awak redaksi SulbarDOTcom, dirinya juga banyak terlibat dalam beragam program penguatan kapasitas masyarakat


ARTIKEL TERKAIT
Setelah Hilang Tiga Hari, Nelayan Sendana Kini Ditemukan
Pilgub, Orang Polman Dorong Kalma
Ini Penjelasan SDK Terkait Pertemuannya dengan Kalma
26 Maret 2016, Haul Prof Dr. KH. Sahabuddin kembali diperingati
Sehari Pasca Mendaftar ke Demokrat, SDK-Kalma Makin Mesra di Majene
 
KOMENTAR
 
Tulis Komentar
Nama :
Email :
URL :
Komentar :
   
   
   
     
    Catatan :
No Ads, No Spam, No Flood please !
Mohon tidak menulis iklan, spamming dan sejenisnya.
 MAIN MENU
> Home
> How to go to SULBAR
v Accomodation :
   - Hotel
   - Rumah Makan (Restaurant)
> Obyek Wisata (Destination)
> Kalender Wisata (Event Calendar)
> Directory
> Peluang Investasi (Investment)
> Perpustakaan Online (Library)
v Pemerintahan (Gov) :
   - Aparatur Pemerintah (Gov Officer)
   - UMKM / UKM


 

 

Email : info [at] sulbar.com | Email Redaksi : redaksi [at] sulbar.com

Situs ini merupakan situs berita online independen seputar wilayah Sulawesi Barat
This site is an independent online news sites around the area of West Sulawesi

copyright © 2004 - 2023 SulbarDOTcom - http://www.sulbar.com/

Online sejak 16-okt-2004

Saat ini orang Online.
Jumlah pengunjung : 2,514,995

web server monitoring service RSS