Sulbar.com - Matahari tampak pelan bergerak naik. Kabut dini hari peninggalan malam pelan bergerak menggeser kabut yang membuntel dingin yang menusuk. Mamasa pagi hari masih menyisakan dinginnya. Lapangan sepak bola Mamasa dengan rumputnya masih meninggal sisa embun malam hari. Sejumlah sepeda motor milik tukang ojek tampak mangkal dan berderet rapi. Menunggu sejumput rejeki yang akan ditadahkan para penumpang yang akan menggunakan jasanya.
Siulan burung gereja sesekali berharmoni dengan deru knalpot kendaraan bermesin yang sesekali tampak lewat dan masih dalam hitungan jari. Disisi lain di sebuah tribun lapangan Mamasa serombongan orang-orang muda tampak berkumpul dan pelan mulai ramai pula memadat.
Sejumlah aktivitas mereka lakukan pada pagi itu. Mereka orang-orang muda yang seakan mentahbiskan dirinya sebagai bahagian dari alam, karenanya mereka memutlakkan dirinya untuk mencintai alam. Ya, mereka tampak tengah serius mempersiapkan sejumlah alat pendakian. Pendakian menjelajahi alam dan punggung hingga puncak Gunung Mambulilling.
Tak pelak komunikasi serius antara mereka pun terbangun begitu intens. Termasuk SulbarDOTcom yang telah cukup kenal baik dengan para pemuda pecinta alam itu. Diskusi lepas yang dimaksudkan itu tampaknya juga menjadi cara menunggu Ketua Panitia Mambuliling Mountain Festival (MFF) Leonard yang juga sebagai kawan seprofesi media ini yang belum juga tampak.
Sejurus kemudian, para pemuda dan pecinta alam yang tergabung sebagai peserta MFF itu bersama SulbarDOTcom mulai mengayuh langkah. Suasana tawa dan canda di pagi itu seolah membela keheningan pagi yang cukup cerah pula bersahabat. Rasanya, jelajah rimba belantara bukanlah hal yang asing bagi para pemuda itu. Tersebab kebanyakan dari mereka adalah bahagian dari Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) atau Komunitas Pencinta Alam (KPA) dari beragam kampus dan kelompok.
Terlebih, bagi mereka alam Gunung Mambulling adalah sahabat yang telah begitu lama mereka kenali. Perkenalan mereka dengan Gunung Mambulilling tidaklah main-main, terbukti saat mereka berbincang, seraya menyeruput kopi sambil duduk bersila sekalipun terdengar komentar bahkan bobot pembicaraan mereka yang telah begitu karib dengan panorama alam Gunung Mambulilling.
Salah satunya adalah, ceritera rakyat Mamasa tentang adanya To Pembuni (manusia yang tak tampak-red) yang kini masih diyakini menghuni wilayah pegunungan Mamasa. Mereka dipercaya ada dan tetap setia hidup menjaga dan mengelola ritme alam pegunungan di Mamasa. Ya, To Pembuni yang tidak ingin berbaur dengan kelompok masyarakat lainnya.
Percaya atau tidak percaya. Namun demikianlah cerita dan keyakinan masyarakat Mamasa hinga kini, yang ternyata sebangun dengan pengalaman sejumlah pendaki yang pernah menapakkan kakinya diseputar gunung-gunung yang ada di Mamasa. Bahkan dari pengakuan mereka telah pula pernah menyaksikan bahkan mengaku telah pernah berkunjung ke pemukiman To Pembuni. Walau suasana yang dirasakannya seolah-olah meraka berada di bawah alam sadarnya.
Herman Ungu, salah satu anggota Mapala Unasman kepada SulbarDOTcom juga mengakui keberadaan ceritera dan kepercayaan atas keberadaan To Pembuni itu. Yang bahkan menurutnya, dapat dibuktikan dengan sejumlah keanehan yang juga pernah ia rasakan, namun ketika itu, menurut Herman tidak ia tanggapi, tersebab dirinya takut justru akan melahirkan masalah.
Demikianlah, menurut Herman, harus ada etika dalam menjelajah alam. Termasuk dengan temuan-temuan aneh yang tidak begitu begitu masuk diakal. Menurutnya sebaiknya pecinta alam yang tengah melakukan pendakian atau penjelajahan alam cukup memilih diam dan tidak melakukan respon yang berlebihan terhadap keanehan yang ditemui diperjalanan. Sebab, baginya misi pecinta alam hanyalah untuk melihat kehebatan dan panorama ciptaan Tuhan, karena pecinta alam harus ikut menjaga dan tidak merusaknya. "Merusak alam atau merespon keanehan yang didapati dalam perjalanan bisa berimbas ke diri kita sendiri".
"Di Kabupaten Mamasa ada dua gunung yang sakral yang pertama, Gunung Gandang Dewata dan Gunung Mambulilling. Walaupun dimalam hari saat berada dipuncak Mambulilling sering terdengar orang yang memanggil-manggil, termasuk memanggil ternaknya atau bunyian seperti menumbuk padi ke dalam lesung. Nah, untuk hal seperti itu, kita sebaiknya tidaklah harus menanggapi. Anggap saja saudara kita sedang menjalankan aktivitasnya. Kita harus tetap fokus pada tujuan kita yang hanya ingin menikmati suasana keindahan alam dan bahkan puncak gunung," tandasnya.
Akhirnya, semoga keberadaan gunung-gunung termasuk para penghuninya yang ada di Mamasa itu tetaplah bisa terjaga. Sehingga harmoni alam dengan segenap penghuninya, baik manusia biasa, pun yang kasat mata tetap bisa sama membangun dialektikanya. Dan keberadaan para pecinta alam, semoga menjadi bahagian penting dari cara baik generasi kini dalam merawat dan menjaga alamnya. Tanpa pamrih dan tanpa pretensi apapun, selain untuk kebaikan bersama. Dan disitu, Pemerintah Daerah semoga bisa ikut terlibat mengapresiasinya dengan baik. Semoga.
|