Sulbar.com - Bila di zaman orde baru opini ini ditulis dan dimuat maka kemungkinan penulis akan diproses dilembaga penjaga stabilitas Negara dan web yang memuat ini akan dibredel, tapi untung saat ini sudah zaman reformasi, dimana seharusnya kita anak bangsa bisa mengenal dengan obyektif para penggagas republik ini. Inspirasi dari penulisan opini ini adalah ketertarikan penulis terhadap pemikiran sosiologi, politik dan pendidikan Tan Malaka, yang menurut penulis dapat dijadikan inspirasi dalam praktik bersosial, berpolitik serta dalam praktik menyelenggarakan pendidikan dewasa ini, serta kekaguman penulis terhadap ide-ide filosofi yang digagas oleh Tan Malaka. Penulis menganggap bahwa kita semua sedang membutuhkan kepemimpinan dalam berbangsa yang saat ini sedang rancu, kita membutuhkan ide-ide yang mungkin bisa membuat kita terlepas dari krisis acuan apalagi pendidikan bagaimana mencintai Indonesia sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa, dan tentu sekaligus mencoba mengingatkan kita akan salah seorang pahlawan, yang Soekarno presiden pertama Indonesia biasa menyebutnya “seseorang yang mahir dalam revolusi”, oleh karena itu Penulis mencoba merajut serpihan ide, pemikiran dan tindakan Tan Malaka dalam opini ini,.
Mungkin generasi saat ini tak banyak yang ingat peristiwa tepatnya tanggal 19 september enam puluh tujuh tahun yang lalu, tapi generasi yang sezaman dengan penulis, mungkin sedikit samar-samar mengingat peristiwa bersejarah itu, yaitu rapat raksasa yang digelar dilapangan Ikada, rapat yang diselenggarakan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, karena dulu dipelajari di bangku sekolah menengah pada mata pelajaran IPS. Dan yakin tak banyak yang tahu bahwa sosok yang mampu mengilhami pergerakan massa sebanyak itu adalah sosok yang terlupakan oleh dua-tiga generasi saat ini, dialah Tan Malaka atau dengan nama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka, dialah yang menorehkan perannya dalam menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di lapangan Ikada, rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan, yang pada waktu itu belum bergema keras, yang sekaligus memotivasi para pemuda untuk lebih gencar dan berani melakukan perlawanan terhadap Jepang, dialah yang melukis revolusi Indonesia dengan bergelora, kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi, orang yang pertama menulis konsep Republik Indonesia, sehingga Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”. Pada tahun 1925 dia menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia, jauh lebih dulu ketimbang Mohammad Hatta yang menulis pleidoi “Indonesia Merdeka” pada tahun 1928 dan Bung Karno yang menulis “menuju Indonesia merdeka” pada tahun 1933, serta tiga tahun lebih dulu dari sumpah pemuda. Gagasan republik Indonsia yang ditulis dalam buku yang judul aslinya “Naar de Republik Indonesia” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Menuju republik Indonesia”, buku yang ditulisnya inilah yang kemudian menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia, dan menjadi buku terlarang untuk dibaca pada zaman itu, sehingga Soekarno harus mendapat tambahan hukuman saat diadili di Landrat Bandung pada 1931 karena memiliki buku ini. Dan salah satu buku yang dijadikan referensi saat soekarno membuat pledoinya “Indonesia Menggugat”.
Disamping itu buku yang disusunya saat dipengungsian dengan judul “massa Actie” pada tahun 1926, telah menginspirasi W.R Supratman sehingga salah satu kalimat lagu Indonesia Raya yang diciptanya terdapat kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku”. Buku “Madilog” yang ditulisnya akan membuat kita semakin terkagum-kagum pada sosok ini, dari buku ini kita bisa membaca watak dan orientasi perjuangannya, ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis tapi katanya, ”di depan Tuhan saya seorang Muslim”,dan ternyata sewaktu muda dia sudah hafal 30 juz Al-Quran.
Berpuluh-puluh tahun namanya tak lagi tercatat dalam buku-buku sejarah, bahkan mungkin diantara generasi kita saat ini hanya mengenalnya samar-samar, olehnya itu lewat tulisan ini penulis mencoba mengingatkan dan menyegarkan kembali ingatan kita bahwa kita punya sosok yang patut dibanggakan disamping bapak-bapak bangsa yang lain sekelas Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir dan yang lainnya.
Saat ini karya Tan Malaka yang masih bisa kita baca dan cermati yaitu buku yang dibuatnya selama dipengasingan “Madilog” (materialis, dialektika dan logika), disamping “massa Aktie”. Buku ini bisa kita dapat di toko-toko buku tertentu, terakhir penulis dapatkan di salah satu toko buku di pelataran gedung DPR RI, ketika berkunjung ke sana beberapa waktu yang lalu. Dari buku ini akan sangat jelas tiga hal yang menjadi pokok pemikirannya, ketiga hal itu adalah Materialisme, dialektika dan logika. Materialesme menurutnya adalah paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain.
Air adalah air dan bukan uap, tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan seratus derajat celcius. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. tesis utama filsafat madilog ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Dalam madilog, Tan Malaka mencoba mensistensikan kedua aliran filsafat Hegel dan Marx-Engels untuk mengubah mental budaya pasif menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas dari alam pikiran takhayul dan mistis. Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah, logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya paling rendah, sampai kelas sosial paling tinggi, berupa kelas sosial yang berwawasan materialis, dialektik dan logik. Dalam Madilog, Tan Malaka mengkritik tajam kepada kita yang selalu lari dari kenyataan nyata material lalu “melarikan diri” ke alam gaib atau menyerah pada nasib yang dalam religi didasarkan pada kepasrahan pasif.
Lembar demi lembar tulisan-tulisannya ini sesunguhnya dibuat dalam suasana kemiskinan, penderitaan dan kesepian yang begitu ekstrem. Bila kita membaca tuntas madilog ini akan tergambar bagi kita bahwa dia adalah Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Dan sesungguhnya karena pemikiran-pemikiranya itulah yang membuat dia harus dipenjarakan berkali-kali, bahkan dibuang keluar negeri. Tan Malaka memang dikenal sebagai sosok yang kontroversial, dia sering tak sepaham dengan teman-temannya, dia partai komunis tapi selalu mendukung aliansi dengan Islam. Pada juni tahun 1927 Tan Malaka berpisah dengan partai komunis dan kemudian mendirikan partai Republik Indonesia di Thailand Bangkok.
Tan Malaka tegas bahwa bekas Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia, namun republik dalam gagasan Tan Malaka tidak menganut trias politika milik Montesquieu, Republik versi Tan adalah sebuah Negara efisien. Republik yang dikelolah oleh sebuah organisasi. Tan Malaka tak percaya pada parlemen, bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri dari eksekutif, legislatif hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Bagi Tan Malaka anggota parlemen yang sudah terpilih sekian lama akan menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari rakyat, karena anggota parlemen itu jarang bercampur baur dengan rakyat, baginya anggota parlemen seharusnya tidak layak lagi disebut wakil rakyat, karena mereka pada akhirnya hanya akan mewakili kepentingan kelompok dan kepentingan dirinya masing-masing. Menurutnya lagi parlemen kemudian akan tergoda berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan dan perbankkan dan kemudian meninggalkan rakyat. Inilah yang terjadi di Inggris beberapa tahun lalu, Partai buruh sebagai anggota parlemen terbanyak justru menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk dijadikan ongkos untuk menginvasi Negara lain, andai Tan Malaka masih hidup pasti ia akan menepuk dada membenarkan gagasannya.
Kalau kesuksesan berpolitik diukur dari seberapa besar kekuasaan yang diperoleh, bukan disana tempat Tan Malaka. Bukan pula pada pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang tak mencantumkan namanya, kendati dia pahlawan nasional yang dikukuhkan namanya melalui keputusan Presiden nomor 53 Tahun 1963. Kesuksesan Tan Malaka sesungguhnya terletak pada sikap konsistennya dalam berpolitik dan orisinalitas pemikirannya yang berpihak kepada rakyat, kemandirian bangsa adalah salah satu hal yang diimpikannya, dan itu menjadi hal yang relevan melihat kondisi bangsa kita dewasa ini.
Selain ide-ide cemerlangnya tentang sosial dan politik, Tan Malaka juga dikenal sebagai tokoh pendidik, ini bisa kita lihat pada artikel yang ditulisnya tentang sekolah-sekolahnya yaitu S.I Semarang dan Onderwijs, yang sekarang dapat kita temui dalam cetakan buku kecil. Dalam buku ini Tan Malaka memberikan gambaran berupa pengenalan singkat tentang sekolah-sekolah dan system pendidikan kerakyatan untuk khalayak umum. Di sekolahnya, Tan Malaka tidak menetapkan jadwal pelajaran secara kaku, serta tidak mengharuskan pakaian seragam, Dia tidak menginginkan peserta didiknya terbebani dan terbatasi oleh aturan-aturan yang formalistik, asas dan tujuan sekolahnya adalah “kebebasan jiwa pada anak didik agar kelak menjadi manusia yang kreatif dan dapat berdiri sendiri, membela rakyat kecil yang sengsara nasibnya karena system kapitalisme. Tan Malaka melihat peserta didik di sekolahnya bukanlah subjek yang pasif, peserta didik adalah subjek aktif yang berfikir, olehnya itu ia memberikan kebebasan kepada peserta didiknya untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliknya. Namun demikian pendidikan menurutnya harus tetap berpijak pada nilai-nilai budaya asli Indonesia.
Tan Malaka mengalami nasib tragis dalam sejarah kita sebagai pendiri bangsa, dia menjadi luka sejarah, karena peran politiknya yang dinilai berbahaya, dia disamarkan, peranannya dalam sejarah revolusi dan buku-bukunya pernah dilarang untuk dibaca oleh generasi muda karena ditakutkan akan menjadi virus yang menularinya. Tan Malaka dianggap sebagai pemikir dan pejuang kiri. Ketika bangsa ini tidak tulus dalam rekonsiliasi sejarah. Tan Malaka menemui ajalnya di tangan bangsanya sendiri, mungkin itulah bukti adagium bahwa “revolusi memakan korban anaknya sendiri”.
Dengan opini ini, semoga pembaca termotivasi setalah mendalami serpihan-serpihan ide, gagasan dan tindakan Tan Malaka yang telah penulis rajut dalam tulisan ini, untuk membaca lebih tuntas setiap karya Tan Malaka, sehinga wawasan dan pengetahuan kita bertambah dan paling tidak kita mengenal lebih dalam dan mengenang kembali tokoh yang banyak berfikir dan mengajari bangsa ini bagaimana mencintai Republik Indonesia.
|