Sulbar.com - Jurnalistik, adalah sebuah rutinitas ke-abadian, mungkin itu salah satu kalimat yang bisa saya ambil dari perkataan seorang sastrawan Indonesia Pramodya Ananta Toer. Melihat fakta sekarang memang banyak seperti itu, ada seorang orator yang jago berbicara di khalayak umum, namun saat berhadapan mengenai penulisan (baca: jurnalistik) ia mati, jika dilogikakan ia hidup dimasanya, namun ia mati/hilang di kemudian, sungguh miris (bukan).
Namun, tidak ketika kita mempelajari mengenai jurnalistik, dalam media kertas, catatan kecil, dan juga layar laptop, kita bisa menuangkan ide dan gagasan lalu mengirimnya lewat pos ataupun e-mail ke media-media pers hingga menjadi abadi, walaupun kita mati ia akan tetap hidup, “ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari dalam kubur” itu yang dikatakan Tan Malaka yang juga seorang penulis .
Pada pukul 21.35 WITA yang bertepatan dengan hari sabtu tanggal 18 November 2017, seorang senior, sekaligus guru dalam hal ke-jurnalistik-an saya yang bernama lengkap Muhammad Syukri,SH datang di Badan Eksekutif Kampus (BEM) , hal yang tidak biasa, karena beliau bisa dikatakan orang yang sibuk, namun dalam dinginnya hawa dan gelapnya malam ia hadir bagai lentera pembuka cakrawala berpikir, (mungkin) alasannya Cuma 1 ia ingin melihat adik-adiknya berkembang dan mekar di dalam rutinitas keabadian. Melirik ke zaman milenial sekarang, yang viral dengan “zaman now”-nya, kerap kali para pemuda/I mengisi waktu luang mereka di malam minggu ini, dengan cara-cara yang kurang produktif, contohnya saja tiduran dirumah dengan terus-terusan main hape, balap-balapan, dan bahkan perkelahian, dan ini tentunya sangat tidak dianjurkan. Berbeda dengan kebanyakan itu, Mahasiswa FAI UNASMAN melakukan sebuah perubahan besar, paradigm masyarakat mengenai anak FAI itu ialah hanya bisa ber-ceramah, ngaji, adzan dan lain sebagainya mengenai keagamaan. Namun, kali ini diharapkan anak FAI mampu mengabdikan diri ke rutinitas ke abadian, menulis (baca:jurnalistik). Tutur kak syukri
Selama lebih dari 1 jam, beliau duduk dihadapan kami, membahas hal-hal dasar tentang ke-jurnalistik-an, satu demi satu secara sistematis dan juga dengan bahasanya yang mudah dimengerti. Ditengah-tengah Sharing, Ahmadi yang sekarang telah menginjak semester 3 Fakultas Agama Islam (FAI) merasa tergugah akan penjelasan beliau, dan ia pun dengan antusiasnya mengangkat sebuah pertanyaan.
Ahmadi: “Kak apa bedanya esaai sama opini?” Tanya-nya sambil tersenyum Kak Syukri: “bedanya essai itu adalah bentuk prosa dek, karangan bebas dari sudut pandang penulis namun dibumbui sastra, sedangkan opini itu pendapat seorang penulis dek, namun berlandaskan dengan data yang ada” jawabnya singkat padat dan jelas.
Selepas dari pembahasan materi beliau, kak sukri-pun langsung mengajak kami untuk mem-praktek-an apa yang telah kami dapat selama 1 jam itu. dan dengan antusiasme kami, kami pun melaksanakan-nya sesuai dengan motto FAI Sami’na wa Atha’na. selama lebih dari 30 menit kami mencari inspirasi dan mengangkatnya dalam tulisan dan pada akhirnya selesai.
Mulai dari straight news, essai, feature, kami mem-praktekkannya, seperti pada tulisan ini, saya membawa tekhnik penulisan feature.
Setelah beliau, menerima tulisan-tulisan kami, beliau berpesan kepada kami satu hal, “bahwa hargailah karya seseorang”. Dalam dialog saya dengan beliau, saya menarik kesimpulan bahwa ke khawatiran beliau adalah bahwa jangan sampai kami tidak menghargai hasil karya orang lain, koran-koran yang menjadi hasil karya seorang yang susah payah ditulisnya kita injak-injak menjadi keset atau apa-lah sejenisnya, dan itu pesan beliau kepada kami untuk terus berproses namun tetap saling menghargai.
|